"Yang ketiga adalah yang kita sampaikan kepada presiden agar temuan ini dapat teratasi, bisa ditindaklanjuti dan diambil langkah-langkah selanjutnya," kata Najih.
Lebih jauh lagi Ombudsman menemukan maladministrasi dalam penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan penetapan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Bahkan, dalam pemeriksaan yang dilakukan, Ombudsman menemukan adanya penyimpangan serius hingga menjurus pada persoalan hukum.
Penyimpangan itu, yakni nota kesepahaman (MoU) antara KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai pelaksana asesmen TWK yang dibuat secara backdate atau mundur beberapa bulan sebelum pelaksanaan dilakukan.
"Backdate ini penyimpangan prosedur yang buat kami cukup serius baik dalam tata kelola suatu lembaga dan terkait masalah hukum," ujar Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021).
Robert menjelaskan, nota kesepahaman pengadaan barang dan jasa melalui swakelola antara Sekjen KPK dan Kepala BKN ditandatangani pada 8 April 2021 dan kontrak swakelola ditandatangani tanggal 20 April 2021.
"Namun, dibuat dengan tanggal mundur 27 Januari 2021. Tanda tangan di bulan April, dibuat mundur tiga bulan ke belakang. Ombudsman Republik Indonesia berpemdapat KPK dan BKN melakukan penyimpangan prosedur," kata Robert.
Dikatakan, nota kesepahaman ini tidak hanya menyangkut pembiayaan TWK, melainkan juga mekanisme dan kerangka kerja.
Dengan demikian, Ombudsman menilai pelaksanaan TWK pegawai KPK yang mulai dilakukan pada pertengahan Maret 2021 hingga awal April 2021 cacat administrasi lantaran dilakukan tanpa nota kesepahaman dan kontrak dengan BKN.
"Ombudsman Republik Indonesia berpendapat KPK dan BKN melakukan penyimpangan prosedur. Satu, membuat kontrak tanggal mundur. Kedua, melaksanakan kegiatan TWK di tanggal 9 Maret 2021 sebelum adanya penandatanganan nota kesepahaman dan kontrak swakelola," tegasnya.
Tak hanya membuat nota kesepahaman dengan tanggal mundur, Ombudsman menemukan BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melakukan asesmen TWK tersebut.
BKN, kata Robert hanya memiliki alat ukur dan asesor untik seleksi ASN.
Lantaran tidak memiliki kompetensi untuk melakukan asesmen TWK, Ombudsman menilai BKN seharusnya menolak permintaan KPK.
Namun, kata Robert, BKN justru memenuhi permintaan KPK dan menggunakan instrumen yang dimiliki lembaga lain. Atas dasar ini, Ombudsman menilai BKN telah melakukan maladministrasi.