News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

21.424 Nakes Alami Keterlambatan hingga Pemotongan Pembayaran Insentif, Siapa Bertanggungjawab?

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebanyak 120 tenaga kesehatan di PMI Kota Tangerang, menerima suntikan vaksin covid-19.tahap kedua, Kamis (11/2021). Para nakes ini menjadi kalangan yang menerima prioritas vaksinasi Covid-19, karena mereka merupakan garda terdepan dalam penanganan Covid-19 yang sangat rentan terpapar Covid-19. (WARTAKOTA/Nur Ichsan)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia (AII) mencatat temuan setidaknya 21.424 tenaga kesehatan (nakes) pernah mengalami penundaan atau pemotongan pembayaran insentif selama periode Juni 2020 hingga Juli 2021.

"Setidaknya ada 21.424 tenaga kesehatan di 21 provinsi yang tersebar di 34 kabupaten/kota yang pernah mengalami penundaan atau pemotongan pembayaran insentif dari Juni 2020 sampai Juli 2021," ujar Manajer Media dan Kampanye AII Nurina Savitri, dalam konferensi pers 'Pembayaran Insentif Tenaga Kesehatan Selama Pandemi Covid-19', Jumat (6/8/2021).

Bogor menjadi daerah paling banyak dimana nakes pernah mengalami penundaan atau pembayaran insentif, tercatat ada 4.258 nakes.

Palembang berada di urutan kedua dengan 3.987 nakes.

Selanjutnya ada Tanjung Pinang dengan 2.900 nakes, Banyuwangi 1.938 nakes, serta Bandung Barat 1.618 nakes.

Anggota Tim Advokasi LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah turut mencatat dalam rentang waktu 30 Juni-31 Juli 2021, pihaknya menerima 136 laporan tentang dana insentif tenaga kesehatan yang tidak kunjung dibayarkan.

Laporan tersebut berasal dari nakes di fasilitas kesehatan milik pemerintah, puskesmas, rumah sakit umum daerah (RSUD) ataupun rumah sakit swasta.

Artinya, kata Firdaus, semua faskes bisa saja mengalami penundaan atau keterlambatan pembayaran insentif ini.

Dari jumlah itu, 79 nakes mengaku belum menerima atau insentifnya belum dibayarkan. Sementara 31 nakes sudah menerima, tapi bermasalah; dan 26 lainnya sudah menerima.

Baca juga: Garda Depan Covid-19, Nakes Harus Dapat Asupan Gizi Cukup

Ironisnya, 50 dari 79 nakes yang belum menerima insentif itu sudah terpapar virus corona. Risiko terpapar mereka tinggi, karena bekerja di unit penanganan Covid-19.

"Seorang bidan di RSUD pada Juli 2021 menyampaikan seharusnya menerima insentif saat ditempatkan di IGD dengan nominal Rp 1 juta per bulan. Tetapi insentif beliau baru dicairkan sampai bulan Juli 2020, sedangkan Agustus 2020 sampai sekarang belum dicairkan. Padahal beliau sudah tugas di unit Covid-19 dari Januari 2021 sampai sekarang," ujar Firdaus.

Asal Muasal Masalah Insentif Nakes

Sementara itu, Ketua bidang Kerjasama Lembaga Negara dan Media Massa Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Ganis Irawan membagi permasalahan insentif nakes menjadi dua. Yakni masalah di tahun 2020 dan 2021.

Masalah insentif pada 2020, menurutnya banyak dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah kuota tiap faskes dalam mengusulkan nakesnya untuk menerima insentif.

Dalam skema umum insentif nakes 2020, setiap faskes mendapatkan kuota--setidaknya dua nakes--yang diusulkan masing-masing faskes kepada pemerintah pusat sebagai penyedia anggaran.

"Sehingga tidak semua nakes bisa mendapatkan insentif. Pemotongan insentif juga terjadi, karena beberapa faskes membuat semacam kesepakatan dengan pihak yang diusulkan agar insentif yang diterima dibagi merata," ujar dr Ganis.

Untuk skema umum insentif nakes 2021 terjadi perubahan. Dimana faskes milik Pemda menggunakan anggaran dari biaya operasi kesehatan (BOK) Tambahan.

Sementara anggaran faskes swasta didapat dari pemerintah pusat, namun masih terbatas dengan adanya kuota nakes.

dr Ganis mengatakan masalah yang kerap menimpa faskes milik Pemda dikarenakan banyak Pemda yang tidak mengajukan BOK Tambahan di 2020.

"Sehingga tahun ini karena Dana Alokasi Umum (DAU) itu rata-rata sudah habis untuk menggaji, mereka mau tidak mau harus mengambil dari sumber lain. Ini masalah," katanya.

Faskes swasta, kata dia, tidak semuanya mau memanfaatkan fasilitas insentif ini dikarenakan terlalu ribet dengan peraturannya.

"Kita bisa mengamati fenomena sekarang, banyak faskes swasta tidak mau merawat pasien covid. Begitu (positif) Covid-19, dirujuk ke tempat lain karena terlalu ribet dan tidak menguntungkan buat mereka," ungkapnya.

"Ada satu problem lagi, beberapa daerah ini membuat definisi berbeda terkait 'terlibat dalam penanganan covid' sebagai 'merawat covid', menyebabkan banyak nakes tidak mendapatkan haknya. Kalau 'merawat covid' itu jadi terbatas, dimana pasien harus PCR-nya positif, nakes harus terlibat langsung dan memegang pasien. Ini jadi problem yang dikeluhkan," tambahnya.

Senada, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah menilai masalah insentif nakes di 2020 lebih banyak disebabkan hambatan birokrasi administrasi.

Baca juga: WHO Instruksikan Tunda Vaksin Booster, Jubir Kemenkes : Untuk Nakes Ini Kondisi Darurat

Pada 2021, Harif menyebut perubahan kebijakan terkait insentif memunculkan banyak keluhan nakes dibawah Pemda.

Menurutnya, komitmen dan kepedulian kepala daerah memiliki kontribusi besar terkait kesejahteraan insentif nakes.

Dia lantas menyoroti teguran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada 368 kepala daerah terkait anggaran 2021, yang berpengaruh terhadap insentif nakes.

"Saya kira komitmen dari kepala daerah ini sangat kurang. Terbukti ada 368 kepala daerah yang mendapatkan teguran dari Mendagri yang masalahnya mulai dari tidak menganggarkan untuk tahun 2021 sampai dengan belum merealisasikan. Ini menurut saya asal muasalnya komitmen," kata Harif.

"Pada saat pilkada, pileg hingga pilpres, isu kesehatan menjadi cantik dan manis untuk ditawarkan. Tapi kondisi hari ini faktanya kepala daerah banyak yang tidak peduli kepada nakes. Dibuktikan dengan terlambatnya insentif dan ada yang tidak menganggarkan insentif nakes, padahal jelas-jelas kita tengah menghadapi pandemi dimana nakes adalah garis depan dalam pelayanan," imbuhnya.

Hak Tenaga Kesehatan Dilanggar

Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri menyebut penundaan atau pemotongan pembayaran insentif nakes ini merupakan pelanggaran hak bagi nakes.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 7A Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, budaya.

Selain itu, Nurina menuturkan beberapa nakes mendapatkan ancaman dan intimidasi dari aparat ketika menyampaikan kondisi penundaan atau pemotongan insentif.

"Kemudian yang dilanggar adalah hak tenaga kesehatan atas kebebasan berbicara, ini termasuk dalam hak atas kebebasan berekspresi dan dilindungi oleh Pasal 19 Kovenan International tentang hak sipil dan politik," ujar Nurina.

"Hak ketiga yang dilanggar adalah hak tenaga kesehatan untuk secara politik membela kepentingan bersama. Ini dilindungi dengan hak atas kebebesan berserikat dan ada di dalam Pasal 22 Kovenan International tentang hak sipil dan politik, serta Pasal 8 Kovenan International tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya," tambah dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur berujar insentif yang merupakan hak nakes sebenarnya dijamin dalam Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang bekerja mendapat hak imbalan dan perlakuan yang adil dan layak.

Baca juga: 150 Vial Vaksin Moderna Tiba di Probolinggo, 1.928 Nakes Dijadwalkan Menerima Vaksin Dosis Ketiga

Isnur menduga masalah insentif nakes lahir dari kebijakan pemerintah yang kurang maksimal pembacaannya.

Sebab keterlambatan pemerintah dalam membayar insentif berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Disana jelas kalau kita baca, potensi sangat kuat kalau pemerintah menyalahgunakan wewenang, karena sudah ada kewajiban dan pengaturan tapi nggak diberikan, lambat. Ini jelas bagian dari penyalahgunaan wewenang di Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan," kata Isnur.

"Bukan hanya melanggar UU, tapi di dalam prinsip pemerintahan, ini melanggar pemerintahan yang baik. Selain asas kepastian hukum, dimana hukum sudah menjamin nakes dapat insentif secepatnya, tapi nggak dapat-dapat juga. Ada juga asas kemanfaatan."

"Ini nakes butuh sekali insentif diberikan, karena sangat bermanfaat bagi kehidupan keluarga dan pribadinya. Sangat banyak asas pemerintahan yang baik dilanggar pemerintah karena keterlambatan pemberian insentif," tandasnya. (vjc)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini