Agus adalah alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor 1992, yang saat ini bergerak di bidang bisnis otomotif. Punya bengkel mobil dan toko ban di Subang, dengan total lima cabang.
Dia berprinsip untuk selalu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat. Ia menyadari, masih banyak pesantren yang kesulitan menghidupi dirinya.
Memang pemasukan pesantren itu di antaranya bersumber dari iuran santri. Tetapi iuran itu sendiri tidak seberapa jika dibandingkan dengan kebutuhan operasional pesantren.
"Sumber lainnya adalah sumbangan atau donasi. Ini kan tidak menentu, tidak selalu ada dan tidak bisa diprediksi. Maka pesantren harus dikuatkan secara ekonominya, harus dibantu, biar mereka punya potensi ekonomi dan bisa dikembangkan," kata ketua umum Forum Bisnis (Forbis) Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor itu.
Karakter pesantren tidak sama. Ada pesantren yang hanya memiliki 10 atau 100 murid. Ada pula pesantren yang memiliki ribuan santri. Pesantren dengan ribuan santri bisa dibentuk kemandirian ekonomi cukup dengan pendirian koperasi.
"Tetapi kalau yang santrinya 50 atau 100 itu tidak seberapa, maka harus digali lagi potensinya apa. Caranya, melalui wakaf produktif yang kita dorong untuk menjadi gaya hidup pengusaha Muslim. Artinya wakaf ini digerakkan ke dalam bisnis atau bidang ekonomi sehingga bisa terus berkembang," kata dia.
Namun, Agus mengakui, kalangan pimpinan pesantren saat ini belum terbiasa dengan kegiatan ekonomi.
Sebab mereka selama ini terfokus untuk mendidik santri dan mengelola pesantren. Jika kegiatan bisnis ini diserahkan kepada mereka, tentu bukan pilihan yang tepat karena mereka bukan ahlinya. Apalagi wakaf selama ini lebih diidentikkan pada tanah, pembangunan masjid, dan pembangunan asrama kelas.
Umpamanya, jika berwakaf uang senilai Rp 100 juta untuk membangun gedung, maka terbatas untuk tiga bangunan.
Tetapi kalau dialihkan untuk wakaf produktif, dengan perencanaan bisnis yang matang, bisa lebih dari itu. Karena itu, memang dibutuhkan gerakan dari para pengusaha yang sudah terbiasa dengan bisnis seperti itu.
"Saya berharap para pengusaha Muslim dan Muslim pada umumnya, yang punya kelebihan harta, ini momentum yang tepat untuk kita membantu dengan cara wakaf produktif, wakafnya sekali hasilnya mengalir dan membesar untuk kemaslahatan umat," imbuhnya.
Badan Wakaf Indonesia mengimbau masyarakat untuk mendukung wakaf produktif. Wakaf ini berbentuk pengelolaan aset yang keuntungannya diputar untuk pengembangan wakaf dan kemaslahatan sosial. Warga setempat dari berbagai kalangan dapat dilibatkan untuk pengelolaannya.
Wakaf produktif di Indonesia banyak dijalankan pondok pesantren yang memang fokus menjalankan ibadah sosial ini.
Tak sebatas menjalankan pendidikan dan pengajaran di kelas, pesantren juga mendidik santrinya dengan menugaskan mereka mengelola amal usaha pesantren yang merupakan aset wakaf.
Keuntungan yang didapat menjadi pemasukan yang dimanfaatkan untuk pengembangan aset wakaf pesantren.
Dengan sistem seperti ini, aset pesantren menjadi berlipat ganda. Pesantren pun semakin memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Banyak dari mereka diberdayakan untuk keberlangsungan wakaf pesantren. Mereka pun mendapatkan kesejahteraan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.
"Kita harus bersinergi untuk menyemarakkan wakaf produktif," ujar Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr Fahrurroji.
Pihaknya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendorong semua pihak untuk menguatkan wakaf produktif. Sebab dengan pola demikianlah ekonomi umat akan meningkat, sehingga dapat memberikan kesejahteraan lebih besar.
Alumnus Universitas al-Azhar Mesir ini menjelaskan bahwa wakaf produktif harus menjadi arus utama masyarakat di berbagai penjuru negeri ini. Apa yang dilakukan Yakaafi, menurutnya, adalah contoh pengarusutamaan wakaf produktif. Pihaknya berharap usaha Yakaafi tersebut akan menular dan menjalar ke berbagai wilayah sehingga orang semakin terbiasa untuk berwakaf.