Menurutnya semua pihak harus mengikuti peraturan yang ada dan mempercayai pernyataan Presiden Jokowi yang juga menolak wacana tersebut.
"Jadi kita nggak perlu lagi merevisi, apalagi dengan alasan pandemi mau diperpanjang masa jabatan presiden, saya rasa nggak perlu," kata Hendri, kepada wartawan, Selasa (22/6/2021).
Perpanjangan masa jabatan presiden disebutnya adalah kemunduran bagi demokrasi. Wacana itu justru dinilai tidak berusaha menyelamatkan Tanah Air dari krisis yang dihadapi.
Apalagi, lanjutnya, Indonesia tidak pernah kekurangan pemimpin. Hendri mengharapkan partai-partai politik juga tak menyambut baik wacana yang bertentangan dengan keinginan Jokowi.
"Sesungguhnya yang memiliki ide itu bukan sedang menyelamatkan negara, justru sedang mendorong negara ini ke dalam sebuah kemunduran demokrasi dan jurang kehidupan yang tidak lebih baik dari saat ini," kata Hendri.
"Nah, mudah-mudahan parpol tidak ada yang berinisiatif melaksanakan itu karena itu sangat bertentangan dengan hati nurani rakyat. Selain itu, civil society masyarakat juga harus satu suara untuk maju berdasarkan UU. Sehingga tidak perlu ada penambahan, baik itu masa jabatan presiden maupun keterpilihan periode presiden," imbuhnya.
Baca juga: Legislator Golkar: Jadikan Makna Kemerdekaan Sebagai Optimisme untuk Berjuang Melawan Pandemi
Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai masa jabatan presiden tiga periode sangat berbahaya jika terwujud.
Salah satu bahayanya adalah semakin besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Bivitri merujuk pada pernyataan guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Lord Acton yakni 'power tends to corrupt'.
"Semakin lama seseorang menduduki satu jabatan, tidak hanya orangnya sendiri, tetapi jaringan kekuasaan yang terbangun pasti enggan kehilangan kedekatannya dengan kekuasaan itu," kata Bivitri.
Selain itu, bahaya lainnya adalah tidak terjadinya regenerasi kepemimpinan.
Hal tersebut memicu terhambatnya inovasi untuk Indonesia yang lebih baik.
Sebab, tidak adanya pergantian pemimpin bisa membuat negara tak bisa cepat mengikuti perkembangan pendekatan-pendekatan dalam upaya pemajuan kesejahteraan rakyat.
Padahal, kata dia, banyak sekali pemimpin-pemimpin baru yang potensial di Indonesia.
"Dan ini penting bagi demokrasi yang sehat," ujar Bivitri. (vjc)