TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) ternyata tidak terlalu sreg dan tidak berkenan dengan sikap polisi yang terlalu responsif menindak kritik yang dilayangkan melalui kesenian seperti mural.
Jokowi bahkan sudah meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengingatkan anak buahnya agar tidak terlalu responsif dan agresif menanggapi berbagai kritik tersebut.
"Bapak Presiden tidak berkenan bila kita (Polri, red) responsif terhadap hal-hal seperti itu. Demikian juga Bapak Kapolri selalu mengingatkan kita dan jajaran, terutama dalam penerapan UU ITE," kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Agus Andrianto kepada wartawan, Kamis (19/8/2021).
Karena itu Agus meminta jajarannya terutama di level daerah agar tidak terlalu responsif menanggapi kritik terhadap pemerintah. Termasuk mural satire terhadap Presiden Jokowi.
Agus mengatakan masyarakat bisa komplain jika ada tindakan polisi yang dinilai membungkam kritik.
"Arahan Kapolri, Kabareskrim, Dirtipidsiber kepada jajaran selalu kami ingatkan, termasuk ini kan juga menjadi sarana itu. Komplain saja kalau masih dilakukan," kata Agus kepada wartawan, Kamis (19/8/2021).
Agus menjelaskan bahwa kritik sah dilakukan warga negara. Namun, berbeda halnya jika ada konten yang berpotensi memecah belah persatuan.
Aparat akan melakukan penindakan hukum merujuk pada Surat Edaran Kapolri dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
Baca juga: Partai Demokrat: Katanya Tidak Antikritik, Tapi Pembuat Mural Dikejar-kejar
"Kritis terhadap pemerintah saya rasa nggak ada persoalan. Namun kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran ya pasti kita tangani," kata Agus.
"Menyerang secara individu memang mensyaratkan korbannya yang harus melapor. Khusus dalam hal ini pun, Bapak Presiden juga tidak berkenan Polri reaktif dan responsif terhadap masalah itu," tambahnya.
Dalam beberapa hari terakhir kepolisian menuai kritik lantaran cenderung responsif terhadap mural satire yang dibuat masyarakat.
Ada mural yang dihapus dan pembuatnya diburu. Salah satunya mural bergambar wajah Presiden Jokowi disertai tulisan ’404: Not Found’.
Mural di bawah jembatan di kawasan Batu Ceper menuju arah Bandara Soekarno-Hatta ini kemudian dihapus polisi.
Belakangan polisi menelusuri dan mencari pembuat mural 404 not found tersebut.
Selang beberapa waktu kemudian polisi juga mengamankan seorang pria di Tuban karena mempromosikan baju dengan desain yang mirip dengan mural itu.
Namun, pria yang berprofesi sebagai tukang sablon itu tak diproses hukum setelah meminta maaf.
Ragam tindakan kepolisian itu kemudian menuai kritik.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan bahwa polisi terlalu reaktif menanggapi hal-hal tersebut.
"Saya kira polisi terlalu reaktif dan tidak perlu terlalu jauh dalam menyikapi mural sebagai ekspresi masyarakat terhadap kondisi yang ada," ucap dia.
Hal senada dikatakan ahli psikologi forensik, Reza Indragiri. Ia mengatakan, sebenarnya pembuatan mural merupakan hal wajar.
Namun aneh jika mural tersebut dianggap sebagai penghinaan terutama kepada pemerintah.
"Mural itu dianggap sebagai penghinaan. Penghinaan itu delik aduan," kata Reza, Kamis (19/8/2021).
Baca juga: Moeldoko Tanggapi Polemik Mural Jokowi, Minta agar Tak Sembarangan Sampaikan Kritik
"Artinya, pertama penghinaan merupakan serangan ke individu bersangkutan. Kedua karena serangan ke individu, maka orang yang dimuralkan itu--bisa siapa saja, termasuk yang dianggap punya kemiripan dengan Jokowi," tambah dia.
Dalam kasus di Tangerang, Reza menjelaskan faktanya tidak ada yang melapor ke polisi. Termasuk Jokowi.
"Faktanya tidak mengadu ke polisi. Artinya, hingga saat ini tidak ada satu orang pun yang merasa telah menjadi korban penghinaan. Jadi, pihak yang murka itu sebetulnya sedang mewakili siapa? Siapa pihak yang dianggap sebagai korban dari penghinaan tersebut? Pihak dimaksud bisa pastikan bahwa objek mural memang merasa terhina?" jelas dia.
Reza menuturkan, jika mural dianggap sebagai ekspresi permusuhan, berarti pembuat mural adalah matang secara psikologis.
Sebab, pembuat mural telah melakukan proses sublimasi yakni menyalurkan perasaan "mentah" yaitu bermusuhan ke wujud yang lebih beradab berupa karya seni.
"Kalau dikatakan bahwa mural itu tak berizin, bagaimana dengan parpol yang tanpa izin memajang bendera dan baliho di pinggir jalan? Mau diperkarakan juga?" kata Reza.
Reza juga mempertanyakan kepolisian jika kelak menangkap pembuat mural tersebut, lalu pelaku akan dijerat dengan pasal apa.
"Polisi menangkap pakai pasal apa?" tutur Reza.
Adapun Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebelumnya mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi selalu terbuka terhadap kritikan.
Hanya saja kata Moeldoko, kritik itu perlu dilakukan dengan cara yang baik.
"Sebenarnya dari awal Presiden selalu mengatakan dan ini lebih bersikap edukatif ya. Presiden sangat terbuka dan enggak pernah pusing dengan kritik itu," kata Moeldoko di kantornya, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (18/8/2021).
"Tetapi beliau (Jokowi) menyisipkan sebuah kalimat yang indah, 'Kita orang timur memiliki adab'. Jadi kalau mau mengkritik ya sesuatu yang beradab, tata krama ukuran-ukuran culture kita itu supaya dikedepankan, bukan hanya selalu berpikir antikritik," tambahnya.(tribun network/igm/fik/dod)