Ditambahkan Ubed, masuknya PAN juga akan berdampak pada demokrasi di Indonesia semakin tidak berkualitas.
"Dan tentu semakin berbahaya karena semakin bertambahnya pendukung rusaknya demokrasi," katanya Ubed.
Pasalnya, dikatakan Ubed, pemerintahan saat ini tengah dalam performa terburuk melalui indeks demokrasi.
Termasuk, korupsi merajalela di masa pandemi, pelanggaran HAM semakin parah karena kasus HAM lama tak teratasi tetapi kasus HAM baru bermunculan.
Serta, faktor ekonomi yang juga memburuk dengan defisit APBN yang parah dan utang negara membengkak.
Baca juga: Kata Waketum PAN setelah Diundang Presiden Jokowi ke Istana: Belum Ada Pembicaraan Koalisi
"PAN seolah melegitimasi dan membenarkan langkah buruk rezim pemerintahan ini," lanjut Ubed.
Dia mengatakan konsolidasi koalisi pemerintah yang terlihat bertambah karena masuknya PAN bisa jadi menunjukkan situasi sedang berbahaya atau ada ketakutan rezim saat ini.
"Juga bisa jadi menunjukan konsolidasi semu karena ketidakpercayaan publik semakin luas saat ini, bahkan dunia internasional juga semakin tidak percaya dengan pemerintah saat ini," jelasnya.
Kata PAN soal Bergabung Koalisi Jokowi hingga Jawab Sindiran PSI
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi menjawab sindiran dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menyebut PAN kerap bermain di antara dua kaki dalam berpolitik.
Contohnya, ketika satu di antara pengurusnya menjadi menteri di kabinet Presiden Jokowi, tetapi kadernya justru kerap mengkritik Jokowi.
Menurut PSI, hal itu terjadi di periode sebelumnya ketika PAN berbeda pilihan politik dengan pemerintah.
Baca juga: PAN Gabung Koalisi Jokowi, Qodari: Karena Sudah Tidak Ada Amien Rais
Baca juga: PAN Resmi Gabung Koalisi Jokowi, Bima Arya: Ini Salah Satu Wujud Kebersamaan PAN Dalam Pemerintah
Menanggapi sindiran tersebut, Yoga menjelaskan, alasan PAN keluar dari koalisi pemerintah kala itu untuk menjaga moral politik.
"Jadi saya tegaskan, PAN keluar dari koalisi waktu itu adalah dalam rangka untuk menjaga fatsun dan moral politik."