News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Amandemen UUD 1945

Pakar Hukum Tata Negara: Rencana Amendemen Konstitusi oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid

Menurut Fahri, gagasan menghidupkan kembali GBHN/PPHN melalui amandemen UUD 1945 yang secara apologi dikatakan demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan merupakan bentuk “Logical fallacy” yang tidak didasarkan pada suatu kajian akademik yang mendalam, cermat dan hati-hati, sehingga pada akhirnya akan membuat sistem yang telah dibangun mengalami disorientasi serta kekacauan fungsi ketatanegaraan.

Sebab, kata dia, amendemen UUD 1945 yang telah berlangsung sebanyak empat kali salah satu hal krusial adalah pada hakikatnya mendesain konstruksi sistem pemerintahan presidensial (purifikasi).

Dengan sistem presidensial itu telah terbukti berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung.

“Bukan kepada lembaga negara lain semacam MPR dengan berbagai atribusi kekuasaannya itu,termasuk penciptaan pranata PPHN, ini tentunya akan menimbulkan kekacauan konsep serta bangunan ketatanegaraan yang ada,” katanya.

Sejak hapuskannya GBHN/PPHN dari konstitusi, maka konsep yang serupa yang mempunyai fungsi semacam GBHN telah digantikan dengan dua produk hukum

Pertama, UU RI No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; dan : Kedua, UU RI No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan RPJMN berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Secara teknis jika PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis pada kedaulatan rakyat, menurut dia, maka secara ideal hal tersebut cukup diakomodir dalam payung hukum yang derajatnya di bawah konstitusi, yaitu UU agar lebih visible dan fleksibel dalam menampung kebutuhan zaman kontemporer, dan tidak ada urgensinya jika basis pengaturan membutuhkan derajat konstitusi.
Di sisi yang lain oleh karena konsep GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini.

“Gagasan GBHN/PPHN adalah sangat tidak 'futuristik' dengan konsep negara demokrasi konstitusional serta negara modern, yang mana setiap proyeksi perencanaan pembangunan nasional yang komprehensif, terpadu, dan terintegrasi idealnya mengacu dan berbasis pada kondisi faktual,serta melalui intrumen riset yang mendalam dan detail, dan tidak hanya sekedar ideologi yang sangat abstrak karena berupa konsep-konsep ideal,” ucapnya.

Fahri menegaskan, demokrasi dan konstitusi telah mengatur dan menjamin sedemikian rupa mekanisme serta dinamika politik dan sistem ketatanegaraan saat ini berkembang sesuai arah, kehendak dan kebutuhan politik kebangsaan kita saat ini.

Dengan demikian, menurut Fahri, wacana amendemen yang disampaikan oleh MPR tentang adanya penambahan ketentuan ayat pada pasal 3 dan ketentuan pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, adanya penambahan ayat dalam pasal 3, hal itu artinya MPR ingin diberi kewenangan untuk mengubah dan menetapkan PPHN.
Padahal, dokumen hukum PPHN itu diatur dalam UUD 1945.

“PPHN yang demikian ini tentunya serupa dengan GBHN pada UUD 1945 sebelum amandemen, kemudian penambahan satu ayat pada ketentuan pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” jelasnya.

Jika nantinya amendemen Pasal 3 disetujui dan menjadi materi muatan konstitusi, menurut Fahri Bachmid, secara hipotesis dapat ditanyakan kepada siapa nantinya presiden akan bertanggungjawab atas pelaksanaan PPHN itu dan apa konsekuensi konstitusional jika lembaga negara yang tidak dapat merealisir dokumen PPHN.

Kemudian dapatkah lembaga lembaga negara itu dikatakan melakukan pelanggaran konstitusi dan apakah itu dapat diajukan impeachment kepada Mahkamah Konstitusi atau bagaimana mekanisme ketatanegaraan serta lembaga yang secara konstitusional diberikan atribusi kewenangan untuk mengevaluasi pelaksanaan PPHN itu, apakah secara politik atau hukum.

“Kalau secara politik berarti MPR sebagai lembaga yang mengeluarkan produk PPHN itu, dan jika demikian berarti menjadi anomali kerana kita telah kembali lagi mengadopsi sistem dengan prinsip supremasi MPR. Ini yang mestinya tidak terjadi,” kata Fahri.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini