Atas rentetan temuan itu, menurut AJI, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat pegawai KPK yang tak lulus TWK sebagai ASN.
Tapi malahan, Sasmito menekankan, pemimpin lembaga antirasuah memilih untuk mengabaikannya.
"Ketika hak asasi manusia disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan maka orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas tertinggi," ujar Sasmito.
Dikatakan Sasmito, Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas.
Maka itu, tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara diuji melalui polemik TWK.
"Apakah bisa menjadi panutan tertinggi melawan korupsi atau justru membiarkan para koruptor berutang budi padanya," katanya.
Sebab, tutur Sasmito, membicarakan 'borok' tes wawasan pegawai KPK bukan hanya menyoal niat menyingkirkan pegawai-pegawai yang dianggap tak bisa dikendalikan, tapi juga masa depan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui, dia mengingatkan, di antara pegawai yang disingkirkan itu adalah mereka yang membuka mata bahwa paket bansos dikorupsi.
Di antara mereka, adalah yang menyingkap proyek e-KTP digarong, yang menyeret nama-nama politikus dan pejabat.
Kemudian beberapa di antara pegawai tak lulus TWK juga mengungkap perdagangan perkara di lingkungan peradilan.
"Karena itu, jika Jokowi tak segera mengambil sikap, rasanya pantas jika publik terus-menerus curiga dan mempertanyakan keseriusan ucapan kepala negara," kata Sasmito.
Itu sebab, sebagai atasan, Presiden Joko Widodo harus mengambil alih dan mengoreksi keputusan KPK.
Kata Sasmito, momentum tersebut tepat bagi Jokowi untuk membuktikan sikap konkret dukungan terhadap pemberantasan korupsi.
"Dan menegaskan ketidaksetujuan TWK dijadikan 'alat' untuk mendepak pegawai yang justru berintegritas seperti yang pernah disampaikannya pada 17 Mei 2021," katanya.