Panglima TNI, lanjutnya, tidak bekerja sendiri. Dia akan didukung dan ditopang oleh para staf dan komandan satuan di jajaran Mabes TNI maupun di tiap-tiap matra. Soal soliditas juga tak perlu dikhawatirkan muncul resistensi, sebab organisasi TNI sudah cukup mapan dan cepat beradaptasi terhadap perubahan kepemimpinan.
"Makanya kemudian kita hanya bisa berharap, presiden maupun DPR tidak terjebak pada bangunan citra dan reputasi yang disodorkan oleh para endorser (pendukung), tanpa melihat realitas secara jernih dan obyektif," ucapnya.
Menghindari Dominasi
Sorotan terhadap calon-calon Panglima TNI, pada dasarnya bukan saja mengarah kepada siapa sosok dan bagaimana kapasitasnya, tetapi juga terkait asal matra angkatannya.
Ikhsan Yosarie selaku peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute menyebut realitas bahwa utusan dari AD masih mendominasi posisi Panglima TNI pascaorde baru merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap sepele, karena stabilitas internal TNI bisa menjadi terganggu.
Pada masa Orde Baru, posisi Panglima ABRI berasal dari AD, mulai dari Jenderal Soeharto sampai yang terakhir Jenderal Wiranto.
Pemerintahan Gus Dur telah memelopori rotasi ini sebagai bagian penting dalam reformasi internal TNI, setelah menunjuk Laksamana Widodo A.S dari AL sebagai Panglima TNI. Walaupun setelah itu kembali terlihat adanya rotasi yang macet dan dominasi salah satu matra angkatan. Bahkan Ikhsan menyebut pada tahun 2015, salah satu purnawirawan TNI AU pernah mengkritik persoalan ini.
Baca juga: Panglima TNI: Penanganan Covid-19 di Sulteng Harus Didukung Semua Elemen
"Presiden Jokowi perlu memperhatikan rotasi antarmatra dalam pemilihan posisi Panglima TNI, sebagaimana diatur pada Pasal 13 poin 4 UU TNI bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan," kata Ikhsan.
Namun demikian, jika disimak betul Pasal 13 poin 4 tersebut, memang terdapat potensi ketidak-harusan tentang rotasi antarmatra. Potensi tersebut muncul melalui Frasa 'dapat' dalam kalimat 'jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian' yang memiliki tafsiran lain, yaitu boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan, ihwal pergiliran posisi Panglima TNI.
Beda halnya jika kata 'harus', maka secara jelas pasal tersebut mewajibkan bahwa posisi Panglima TNI itu bergantian pada tiap-tiap matra angkatan. Akan tetapi, Ikhsan menyatakan rotasi antarmatra perlu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra dalam kesatuan TNI, terutama dalam kaitannya dengan dominasi terhadap posisi Panglima TNI, yang bisa menciptakan suasana dan kondisi yang negatif.
"Setelah melantik Marsekal Hadi Tjahjanto (AU) sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (AD), maka tentu rotasi matra berikutnya adalah AL. Presiden Joko Widodo perlu meminimalisir terjadinya dominasi salah satu matra sebagai Panglima TNI pascaorde baru, sebagaimana pernah dilakukan ketika melantik Jenderal Gatot Nurmantyo menggantikan Jenderal Moeldoko, karena keduanya berasal dari matra darat," tegasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)