Jurhum juga menyinggung terkait kemungkinan pertemuan Yusril dengan Moeldoko di 2021 hingga membuatnya berubah sikap.
Jurhum menilai, adalah hal yang wajar saat Yusril bertemu siapa pun yang meminta nasihat hukum.
"Andi mestinya paham, bukannya dengan siapa saja ia boleh bertemu, apalagi dengan klien misalnya, jika benar Moeldoko sebagai klien yang meminta nasihat hukum, atau dengan Andi sekali pun boleh saja Yusril bertemu, toh itu itu tak akan merubah sikap dan pandangan hukumnya," kata Jurhum.
"Andi mestinya fokus mempersiapkan argumen perlawanan hukum, biar judicial review ini perang argumen hukum yang mampu membuat rakyat cerdas, bukan berakrobat kata apalagi menyerang pribadi Yusril," tambahnya.
Baca juga: AD/ART Demokrat Digugat Yusril, SBY Singgung soal Hukum yang Mungkin Bisa Dibeli
Sementara soal netralitas yang diperkarakan, Jurhum mempertanyakan dalam posisi dan pengertian apa netral yang dimaksud.
"Yusril bukan hakim yang memutuskan perkara, apalagi menjabat posisi tertentu di pemerintahan yang menangani masalah hukum, sebagai pengacara yang professional bukankah Yusril punya kewajiban mengakomodir hak-hak politik kliennya secara etika profesi yang dipegangnya?"
"Tentu dengan cara memberikan alternatif langkah hukum yang masuk akal, terlebih klien yang diwakilinya juga punya legal standing untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung? Lalu dimana letak netralitas yang dimaksud Rachland?" ujar Jurhum.
Oleh karena itu, menurutnya, wajar saja, jika Yusril merasa kritik-kritik itu bernada penyerangan terhadap dirinya selaku pribadi.
Kritik-kritik itu tidak menyasar substansi perkara yang tengah dia advokasi, yakni AD/ART PD.
"Kalau Yusril bilang itu jurus mabuk, saya mau bilang itu jurus asal bunyi, alias asbun," tambah Jurhum.
(Tribunnews.com/Maliana/Malvyandie Haryadi)
Berita lain terkait KLB Partai Demokrat