TRIBUNNEWS.COM - Publik kini dihebohkan dengan foto yang memperlihatkan bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terpasang di ruangan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berikut kronologi ditemukannya bendera tersebut hingga pengakuan mantan pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Polemik ini bermula dari surat terbuka mantan Satpam KPK, Iwan Ismail melalui Facebook-nya, Kang Iwan Ismail Rabu (29/9/2021).
Baca juga: Abraham Samad: 57 Pegawai KPK yang Dipecat Idealnya Dikembalikan ke Posisi Semula
Dalam surat itu, tertulis Iwan yang memfoto bendera hitam putih diduga milik HTI pada tahun 2019 silam.
Dimana pada saat itu, bersamaan dengan adanya demo besar revisi UU KPK.
"Berjalannya waktu ketika ramai perubahan UU KPK yang baru sekitaran bulan Agustus-September, sehabis ada demo besar di Gedung KPK hari jum’at tanggal 20 September 2019 dengan isu “KPK Taliban”."
"Maka pada malam hari selepas piket pengamanan saya kembali bersama teman saya naik ke lantai 10 dan masih kedapatan melihat bendera hitam putih (milik HTI) yang masih terpasang di meja kerja yang sama lalu saya ambil foto kembali untuk dijadikan bahan laporan dgn asumsi bahwa bendera ini yang menjadi gaduh KPK Taliban," tulis Iwam, dikutip dari Tribunnews.com.
Baca juga: Abraham Samad Sebut 57 Pegawai yang Dipecat KPK adalah Pejuang-pejuang Pemberantasan Korupsi
Pada malam hari, Iwan sempat membicarakan keberadaan foto itu dengan temannya lewat aplikasi chat WhatsApp.
Dituliskan dalam surat tersebut, Iwan berniat melaporkan temuan bendera itu pada 2 hari setelahnya, di hari kerja yakni Senin.
Tak disangka, foto bendera mirip HTI ini sudah viral di media sosial hingga berujung pada pemanggilan Iwan oleh pengawas internal KPK di hari Senin itu.
Dari viralnya foto tersebut, Iwan pun diberhentikan lembaga anti rasuah itu.
Dipecat KPK
Terkait hal tersebut, Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri pun angkat suara.
Ali menyebut peristiwa penyebaran foto bendera mirip HTI di salah satu ruang kerja Gedung KPK Merah Putih terjadi pada September 2019.
Pada saat itu juga, KPK langsung melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung.
Dari pemeriksaan tersebut, Iwan Ismail terbukti dengan sengaja menyebarkan informasi hoaks.
"Sehingga disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal."
"Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK," kata Ali, Jumat (1/10/2021).
Baca juga: Pakar Hukum Sebut Pimpinan KPK Kalang Kabut 57 Pegawainya akan Direkrut Polri: Ada Upaya Penjegalan
Ali mengatakan, perbuatan Iwan Ismail termasuk kategori pelanggaran berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Perbuatan Iwan Ismail juga melanggar Kode Etik KPK sebagaimana diatur Perkom Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai-nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.
"Yang bersangkutan melanggar nilai Integritas, untuk memiliki komitmen dan loyalitas kepada Komisi serta mengenyampingkan kepentingan pribadi/golongan dalam pelaksanaan tugas, melaporkan ke atasan, Direktorat Pengawasan Internal, dan/atau melalui whistleblowing apabila mengetahui adanya dugaan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan Komisi, tidak melakukan tindakan yang dapat mencemarkan nama baik Komisi," jelas Ali.
Selain itu, lanjut Ali, Iwan Ismail juga melanggar nilai profesionalisme, untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan harmonis.
Baca juga: Pakar Hukum Harap BKN Perlancar Keinginan Polri Rekrut 57 Mantan Pegawai KPK
Serta pelanggaran terhadap nilai Kepemimpinan, untuk saling menghormati dan menghargai sesama insan Komisi, serta menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.
"Sedangkan bagi pegawai yang memasang bendera tersebut terbukti tidak memiliki afiliasi dengan kelompok/organisasi terlarang, sehingga tidak terdapat peraturan yang melarang atas perbuatannya," ungkap Ali.
"Namun KPK mengingatkan seluruh insan komisi, demi menjaga kerukunan umat beragama. Insan KPK harus menghindari penggunaan atribut masing-masing agama di lingkungan kerja KPK kecuali yang dijadikan sarana ibadah," imbuhnya.
Tanggapan Mantan Pegawai KPK
Sementara itu, mantan pegawai KPK yang dipecat karena tak lolos TWK, Tata Khoiriyah juga ikut memberi tanggapannya soal heboh bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Dari viralnya bendera mirip HTI itumenguatkan dugaan isu radikalisme dan Taliban yang menyusup di tubuh KPK.
Tata yang akrab dan menyatakan bahwa dirinya dekat dengan Nahdlatul Ulama merasa bertanggung jawab untuk meluruskan hal ini agar tak salah tafsir.
Ia pun membagikan tulisan panjangnya di laman Facebook pribadinya secara rinci dan lengkap.
Berikut tulisan lengkap Tata Khoiriyah soal viralnya bendera HTI yang dikaitkan dengan pemecatan 58 Pegawai KPK yang tak lolos TWK, diberitakan Tribunnews.com sebelumnya:
"Saya menulis sedikit penjelasan karena pertanyaan yang sama berulangkali datang untuk sekedar mengkonfirmasi. Benarkah berita tersebut? Apakah ada klarifikasinya? Awalnya saya hanya balas selewatan. lama-lama berujung pada diskusi panjang. Sampai akhirnya ketika situasi krisis, berita lama itu dimunculkan kembali untuk pembenaran atas alasan tes wawasan kebangsaan yang ujungnya menyingkirkan saya sebagai pegawai tetap KPK.
Saya sedih karena narasi itu muncul dan beredar di kalangan nahdliyyin. Circle yang sama dengan saya. Sehingga saya punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan meski sebenarnya saya masih memfokuskan diri dengan hiruk-pikuk TWK. Disamping itu, saya tidak ingin para nahdliyyin menjadi korban dari hoax yang sengaja disebarkan, sehingga keberpihakannya pada KPK tidak obyektif. Saya sampaikan dalam tulisan panjang supaya sekaligus menjadi arsip bagi saya kelak apabila isu ini kembali muncul.
Di tengah ramainya pemberhentian 57+ pegawai KPK lewat assesment Tes Wawasan Kebangsaan, beredar kabar pengakuan seorang mantan pegawai KPK yang dipecat karena menyebarkan foto bendera (liwa') yang diasumsikan dengan sebuah gerakan HTI. Mungkin penjelasan yang bisa saya sampaikan tidak sepenuhnya bisa menjawab keyakinan para pembaca. Karena preferensi politik, kubu tokoh, dan kelompok tentu mempengaruhi cara berpikir dan saringan informasi anda.
Ada poin penting yang saya jelaskan terkait beredarnya pesan siar dari Mas Iwan Ismail yang juga sesama nahdliyyin;
1. Mas Iwan ini adalah pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rutan (rumah tahanan). Tugas yang diemban adalah pengamanan terhadap tersangka dari Rumah Tahanan KPK atau rutan lainnya selama menjalani penanganan perkara (pemeriksaan, persidangan dan eksekusi). Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya. Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan. Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri. Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri. Termasuk pramusaji (OB) dan petugas kebersihan di lantai tersebut.
Foto dimana bendera HTI tersebut diambil di Lt. 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan/dipekerjakan KPK. Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk ke ruangan tersebut. Lantas dari mana mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan.
2. Mas Iwan bilang kalau akibat foto bendera tersebut viral, dirinya diperlakukan seolah-olah seperti tersangka. Mungkin Mas Iwan belum tahu atau mungkin lupa bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang confidential (rahasia). Sehingga banyak aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang membutuhkan kebijaksanaan dalam bersikap sehari-harinya. Karena ruang kerja tim penindakan hanya diakses terbatas, maka foto-foto yang beredar pun di dalamnya sangat dikontrol. Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto. Yang perlu digaris bawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Mas Iwan diberhentikan. Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan Pengawas Internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK.
Mungkin Mas Iwan tidak tahu bahwa saat itu isu Taliban tengah dilemparkan ke publik untuk menyerang kredibilitas KPK. Sehingga kepercayaan publik menurun bahkan mempertanyakan kenetralan KPK. Padahal saat itu KPK sedang butuh-butuhnya dukungan publik karena menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Beredarnya foto tersebut dinilai merugikan citra KPK dimata publik.
3. Bagaimana nasib pegawai KPK yang mejanya terdapat bendera tsb? Perlu diketahui, meja tersebut milik pegawai negeri yang sedang dipekerjakan (PNYD) di KPK. PNYD yang dimaksud adl ASN dari kementerian atau lembaga pemerintah lain, polisi, dan jaksa yang dipekerjakan KPK dg batas waktu maksimal 10 tahun. Proses rekruitmennya tentu dilakukan lewat mekanisme masing2 instansi. Sehingga dalam proses alih status pegawai KPK kemarin tidak mengikuti TWK yang kontroversial. Kan statusnya sudah ASN dong. Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yg proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri. Bendera tersebut berada di meja dari seorang jaksa, dan jaksa tersebut bukan bagian dari 57+ yang disingkirkan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi.
Kembali ke soal bendera, sama dengan Mas Iwan, pemilik meja yang ada benderanya, diperiksa juga oleh Pengawas Internal KPK. Bahkan Ia diperiksa juga oleh instansi asalnya. Dicari juga kronologi kenapa bisa bendera tersebut masuk dan tersimpan di meja tersebut. Pemilik meja juga diperiksa sama dengan Mas Iwan apakah memiliki keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu? Dan kesimpulannya pemilik meja tidak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu.
Tidak ada perlakukan yang berbeda dalam pemeriksaan di Pengawasan Internal KPK. Informasi yang saya dapatkan dari salah satu Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP), dalam proses persidangan, Mas Iwan terbukti melakukan kesalahan dan mengakuinya. Mas Iwan ini dinyatakan bersalah atas: masuk ruang kerja yang bukan menjadi ranah/kewenangannya, terbukti dengan sengaja dan tanpa hak telah menyebarluaskan informasi tidak benar kepada pihak eksternal, Menuduh orang terlibat HTI tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu. Disamping itu, Mas Iwan sendiri tidak profesional, apabila ia memiliki dugaan atas pelanggaran etik lewat bendera tersebut, harusnya ia melaporkan ke atasan langsung. Namun yang dilakukan olehnya adalah menyebarluaskan ke publik.
4. Dalam proses persidangan etik Dewan pertimbangan pegawai (DPP) memanggil saksi ahli yang dapat menjelaskan apakah benar bendera tersebut adalah bendera HTI. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang perbedaan-perbedaan bendera. Sehingga DPP dapat mengambil kesimpulan yang objektif dalam sidang etik tersebut. Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang adalah tim ahli dari Kemenag RI. Pemilihan tersebut tentu mempertimbangkan posisi perwakilan bisa jadi jembatan yg netral untuk masukan para Dewan Pertimbangan Pegawai. Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI.
(Penjelasan siapa saksi ahli diedit tgl 3 Okt).
5. KPK mewajibkan pegawainya untuk netral dari berbagai afiliasi, entah himpunan, ikatan profesi, parpol, bahkan organisasi massa. Saya sendiri pun menandatangani pakta integritas tersebut di awal bekerja. Saya harus melepaskan berbagai identitas yang pernah melekat seperti: Alumni PMII, IPPNU, dan terakhir GUSDURian. Sehingga tidak bisa dibenarkaan bahwa foto bendera yang diasumsikan HTI tersebut menjadi bukti bahwa ada taliban di KPK tanpa mengetahui konteks dan kronologi mengapa bendera tersebut ada di lt.10. Saya kira penuduhan taliban itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa 57+ pegawai KPK pantas diberhentikan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi. Karena faktanya di dalam 57+ pegawai KPK tersebut ada 6 orang nasrani (salah satunya adalah pendiri Oikumene KPK), ada budhis, ada hindu, dan ada sebagain besar nahdliyyin seperti saya contohnya.
Informasi sampingan yang cukup menarik diketahui, pejabat yang memantau dan memastikan sidang etik ikut disingkirkan lewat Tes Wawasan Kebangsaan. Padahal beliau ini juga menegur pegawai yang mejanya terdapat bendera tersebut.
Kami terus melakukan perlawanan bukan karena masalah pekerjaan semata, tapi karena ketidakrelaan kami KPK menjadi kehilangan ruh pemberantasan korupsi seperti transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam peralihan status pegawai.
Mungkin demikian penjelasan saya yang panjang. Hal ini saya lakukan supaya teman-teman bisa mengambil pelajaran untuk terus melakukan konfirmasi terhadap setiap berita/informasi yang beredar. Supaya kita terhindar dari jebakan stigma dan prasangka yang berlebihan." tulis Tata.
Melalui tulisannya, Tata kembali menegaskan bahwa bendera HTI yang viral di meja kerja KPK itu tidak terkait sama sekali dengan pegawai KPK. Tata membantah keras apabila pemecatan pegawai KPK dikaitkan oleh keterlibatan dengan HTI karena sudah diputuskan dalam sidang etik lembaga antirasuah itu.
"Kesimpulan di sidang etik yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Pegawai dengan mengundang saksi ahli kesimpulannya itu bukan bendera HTI," terangnya.
Tata menyatakan keprihatinanannya atas isu ini dan memastikan bahwa pegawainya tidak memiliki afiliasi dengan kelompok manapun.
"Penjelasan panjang ini tidak lain karena keprihatinan teman-teman NU yang tidak mendapat informasi secara detail," tandasnya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Fandi Permana/Ilham Rian)