"Di tanah air banyak maskapai penerbangan yang harus merumahkan karyawan mereka karena terus merugi. Bahkan upaya restrukturisasi utang maskapai Garuda terhambat karena minimnya aktivitas penerbangan selama pandemi ini," ujarnya.
Melandainya pandemi Covid-19, kata Eem harusnya menjadi momentum kebangkitan industri penerbangan di tanah air.
Seiring masifnya vaksinasi serta adanya Aplikasi Peduli Lindungi harusnya tidak perlu lagi ada persyaratan tes PCR bagi calon penumpang pesawat terbang.
"Harus diakui jika tes PCR salah satu yang menghambat peningkatan jumlah penumpang pesawat selama musim pandemi ini. Bahkan kami mendapatkan banyak informasi jika penumpang terpaksa hangus tiketnya karena harus menunggu hasil tes PCR," ucapnya.
Meski saat ini sudah ada batas tertinggi harga tes PCR, lanjut Eem, tetapi bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong besar.
Bahkan harga tes PCR ini bisa 50 persen dari harga tiket pesawat. Kondisi ini membuat banyak calon penumpang yang memilih moda transportasi lain.
"Situasi ini tentu kian menyulitkan industri penerbangan di saat pandemi ini karena meskipun tidak ada persyaratan tes PCR jumlah penumpang pun sudah pasti turun," katanya.
Eem mempertanyakan munculnya persyaratan tes PCR dalam Inmendagri 53/2021.
Sebab di Inmedagri 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua dan hasil negatif PCR (H-2) jika baru memperoleh vaksin dosis pertama.
Tapi di Inmendagri yang baru, poin tersebut dihilangkan.
"Kami tidak ingin aturan baru wajib tes PCR ini dipersepsikan publik sebagai bentuk keberpihakkan pemerintah kepada penyelenggara tes-tes PCR yang saat ini memang tumbuh di lapangan. Jangan sampai unsur kepentingan bisnis mengemuka dalam urusan PCR untuk penumpang pesawat ini," ujarnya. (Tribun Network/gta/mam/wly)