Sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai.
Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri.
Sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu.
PNS yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara menjadi alat politik partai.
Prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan.
Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana ia berasal.
Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S.
Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang KORPRI.
Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, KORPRI “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2).
Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.
Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.
Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa KORPRI harus netral secara politik.