Waktu hari terakhir, sesudah sesi terakhir yang selesai sekitar jam 10 malam. Presiden keluar dengan menteri luar negeri dan disambut oleh para staf, termasuk saya ikut menggerombol di situ. Tiba-tiba Gus Dur bilang saya capek sekali. Saya sudah nggak kuat, saya mau istirahat saja.
Terus diingatkan bahwa ini cuma break sebentar, sesudah ini ada acara penutupan. Nggak, nggak saya sudah nggak kuat, mau tidur. Tiba-tiba Gus Dur bilang itu biar Yahya saja yang masuk nanti, beliau bilang begitu.
Ya orang kaget semua, biarin Yahya saja yang masuk kayak ini kondangan saja. Orang kaget nggak bisa ngomong dan saya juga diam. Kemudian orang merasa nggak ada pilihan lain selain patuh.
Akhirnya saya masuk dengan menteri luar negeri Pak Alwi Sihab. Sampai disana itu setiap delegasi negara hanya disediakan dua kursi, untuk presiden dan menteri luar negeri. Saya sampai disana bingung.
Lho ini saya duduk dimana pak? Disitu kata pak Alwi kan. Wah ini kursinya presiden, saya nggak berani, tukeran saja pak. Pak Alwi bilang nggak bisa, saya menlu saya harus duduk di kursi saya. Lha terus saya gimana? Ya perintah presiden kamu duduk disitu. Akhirnya saya duduklah di kursi presiden.
Di belakang podium itu ada dinding besar yang dijadikan layar live itu. Kamera itu tadinya shoot memutar dari jauh ke delegasi satu per satu. Lewatin saya, tapi lewatin saya sedikit balik lagi dia. Tadinya kan longshot, terus di zoom in akhirnya saya di close up sebesar tembok itu muka saya.
Saya kan terus bagaimana rasanya itu. Saya mau senyum malah kayak meringis, saya mau kelihatan serius malah kayak cemberut, jadi nggak karu-karuan saya. Habis itu gambar kameranya turun menyorot name tag di depan saya, yang bertuliskan President of Republic Indonesia. Jadi sudah pernah saya dan serius nggak enak. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)