"Ia (korban NW) terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
"Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara."
"Memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin," katanya.
Baca juga: Kesaksian Penjaga Makam Lihat Mahasiswi NWR sebelum Bunuh Diri: Setiap Hari Datang ke Makam Ayah
Lebih lanjut, Siti Aminah mengungkapkan, peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali.
Pada kali kedua, bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban.
Keluarga pelaku beralasan, masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, kata Komisioner Komnas Perempuan, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Peristiwa ini pun menjadi pelajaran dan menjadi alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.
Di mana kasus kekerasaan seksual di Indonesia membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat.
Menurut Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan, daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh.
Apalagi di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.