TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi non pemerintah bidang hak asasi manusia, Amnesty International baru - baru ini mengungkap derita keluarga etnis Uighur yang harus terpisah dari anggota keluarganya, usai otoritas Tiongkok memerangi ekstremisme agama.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah Indonesia bersama negara - negara di dunia mendesak otoritas China segera menyetop kegiatan deradikalisasi, yang diduga jadi kamuflase kejahatan kemanusiaan.
"Amnesty Internasional memperkirakan lebih dari satu juta orang Uighur telah ditahan secara sewenang-wenang di pusat transformasi pendidikan di Xinjiang," kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa dalam keterangannya, Kamis (16/12/2021).
Berdasarkan informasi dari Amnesty International, otoritas China disebut sengaja mencegah orang tua etnis Uighur kembali ke China untuk bertemu anak - anak mereka. Di sisi lain, China juga menutup peluang anak - anak Uighur meninggalkan China.
Beberapa orang tua Uighur yang lebih dulu meninggalkan China dan bermukim di Australia, Kanada, Italia, Belanda dan Turki, berharap ada reunifikasi atau penyatuan kembali dengan anak-anak mereka di China.
Solissa menyatakan sudah waktunya China mengakhiri pelanggaran berat HAM dan kebijakan represif di Xinjiang.
Baca juga: Dokumen Etnis Uighur Bocor, PB HMI Tuding Adanya Pelanggaran HAM
"China harus menghormati kewajiban hak asasi manusia warganya termasuk yang berkaitan dengan hak anak di bawah hukum internasional," ucapnya.
Merujuk pada Komite PBB tentang Hak Anak, Solissa menjelaskan bahwa reunifikasi harus dilakukan di tempat lain di luar negara asal atau tuan rumah.
Reunifikasi juga harus memperhatikan serta mengedepankan hak asasi anak dan orang tuanya.
"Pemerintah Tiongkok harus menegakkan kewajibannya untuk menangani permohonan oleh anak-anak atau orang tua mereka untuk masuk atau meninggalkan Tiongkok secara bebas dengan cara-cara yang manusiawi, terutama untuk tujuan reunifikasi keluarga" terangnya.
CENTRIS juga meminta ada jaminan pemerintah China atas adanya kerugian bagi orang tua maupun anak saat mereka dipersatukan kembali.
Dalam proses reunifikasi keluarga, China harus menghormati hak-hak anggota keluarga Uighur untuk menjaga kontak langsung dan teratur satu sama lain.
“Merahasiakan informasi tersebut juga dapat menjadi intervensi sewenang-wenang terhadap hak anak untuk kehidupan keluarga yang melanggar HAM,” pungkas Solissa.