News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Keterwakilan Perempuan Calon Anggota KPU Lebih dari 30 Persen, Pakar: Mesti Dikawal

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang juga bagian dari Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA), Bivitri Susanti

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seleksi tahap ketiga calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)-Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI periode 2022-2027 telah selesai.

Wawancara dan tes kesehatan itu diikuti oleh 48 bakal calon, dengan rincian 28 peserta untuk KPU dan 20 peserta untuk Bawaslu.

Setelahnya, tim panitia seleksi (pansel) akan mengirim 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu ke Presiden pada 7 Januari 2022 mendatang.

Namun, keterwakilan perempuan dalam seleksi penyelenggara pemilu menjadi isu yang terus menerus dipergunjingkan.

Baca juga: Banyak Catatan Evaluasi Dalam Proses Seleksi Bacalon KPU-Bawaslu

Pakar hukum tata negara sekaligus anggota Maju Perempuan Indonesia (MPI), Bivitri Susanti mengapresiasi persentase keterwakilan perempuan yang ada dalam seleksi bakal calon KPU-Bawaslu saat ini karena sudah berada melewati batas minimal yakni 30 persen.

"Kita perlu mengapresiasi pansel sejauh ini yang cukup bagus ya. Ada 28 nama calon anggota KPU dan 20 nama calon anggota Bawaslu, dua-duanya sudah cukup baik ya. KPU itu ada 10 perempuan dari 28 calon, jadi (keterwakilan perempuan) 35,71 persen. Kemudian 6 perempuan dari 20 calon Bawaslu, itu 30 persen," ujar Bivitri, Selasa (4/1/2022).

Di balik apresiasi itu, Bivitri menegaskan tercapainya angka minimal keterwakilan perempuan itu belum tuntas dan mesti dikawal dalam setiap tahapnya. Sebab, angka 30 persen itu belum dapat dipastikan muncul dalam nama-nama yang akan dikirim tim pansel ke presiden.

Baca juga: Saat Serahkan Daftar Nama ke Presiden, Timsel KPU-Bawaslu Diminta Pastikan Keterwakilan Perempuan

Padahal konstitusi disebutnya telah menjamin hal tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa 'Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan'.

Bahkan norma Konstitusi itu dipertegas oleh Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

"Kata memperhatikan mesti ditempatkan sebagai komitmen utama oleh Timsel. Bukan sebagai pilihan yang boleh ada atau tidak. Sebab, digunakannya frasa memperhatikan tentu bukan untuk pelengkap saja, melainkan sebagai penekanan prioritas yang diupayakan penuh oleh para pihak yang terlibat di dalamnya," katanya.

Baca juga: Timsel Harus Pastikan Calon Anggota KPU-Bawaslu Miliki Kompetensi dan Integritas 

"Bahwa kalau kita berbicara dari aspek penalaran hukum kata memperhatikan itu akan muncul justru untuk memberikan suatu kepastian bahwa keterwakilan perempuan itu harus jadi prioritas paling atas ketika memilih KPU dan Bawaslu," imbuh Bivitri.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu juga ingin mengubah persepsi yang keliru terkait pemahaman minimal 30 persen keterwakilan perempuan.

Menurutnya, seakan-akan ada asumsi bahwa 30 persen keterwakilan perempuan itu sudah cukup dan tidak usah lebih dari itu.

Asumsi ini berasal dari belum cukupnya pemahaman dan aksi di DPR, DPD, dan DPRD soal pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak.

Bivitri menegaskan keterwakilan perempuan bukanlah soal membabi buta perihal kesetaraan yang mengharuskan 50 persen-50 persen ataupun ingin menunjukkan kehebatan perempuan.

"Nah ini yang keliru. 30 persen itu sebenarnya ada alasannya bahwa minimal untuk bisa mempengaruhi pengambilan keputusan memang angka 30 persen itu yang bisa mempengaruhi.

Tapi ini jumlah minimal, tidak ada harmless sama sekali dan tidak ada mudaratnya seandainya keterwakilan perempuan itu lebih dari 30 persen," kata Bivitri.

"Jadi keterwakilan itu harus cukup, bahkan dengan komposisi 50 persen-50 persen juga baik. Nama-nama yang disampaikan pansel juga harus memenuhi kualifikasi integritas, kapasitas dan kompetensi," pungkasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini