Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pengamat dan para ahli menilai sistem Presidential Threshold 20 Persen telah gagal memperkuat sistem presidensial.
Secara prinsip, mereka sependapat Presidential Threshold 20 persen harus ditiadakan lantaran tak relevan untuk diimplementasikan.
Hal itu disampaikan dalam Executive Brief bertajuk Masukan Ilmiah-Akademik Terkait Presidential Threshold, di Jakarta, Sabtu (8/1/2022).
Hadir dalam kegiatan itu Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, Senator Tamsil Linrung (Sulsel), Habib Abdulrrahman Bahasyim (Kalsel), Bustami Zainuddin (Lampung), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, serta Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.
Sementara sejumlah pengamat dan ahli yang hadir di antaranya Refly Harun, Prof Chusnul Mar'iyah, Rocky Gerung, Haris Azhar, Bivitri Susanti, Ferry Joko Yuliantono dan Radian Salman.
Refly Harun yang bertindak sebagai moderator menjelaskan jika saat ini sudah ada banyak gelombang judicial review Presidential Threshold 20 persen ke MK.
"Senator ada dua gelombang yang mengajukan judicial review. Ada juga dari Diaspora Indonesia dari 11 negara dan 27 pemohon. Ada dari Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, Hong Kong, Taiwan, Australia, Jepang, Singapura dan beberapa negara lainnya," kata Refly.
Dalam putusannya, MK menyebut Presidential Threshold 20 persen memperkuat sistem pemerintahan presidensiil. MK juga menyebut Presidential Threshold 20 persen merupakan tata cara lebih lanjut saja.
Terakhir, MK menyebut Presidential Threshold 20 persen adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.
Baca juga: Anis Matta Sebut Presidential Threshold Picu Polarisasi di Masyarakat
Senator Tamsil Linrung menjelaskan jika DPD RI tak akan berhenti untuk terus menyuarakan Presidential Threshold 0 persen.
"Baru ada dua gelombang yang mengajukan judicial review dari anggota DPD RI. Masih akan ada gelombang berikutnya yang akan mengajukan judicial review. Melalui forum ini tentu ini menjadi penguatan bagi perbaikan demokrasi kita," kata Tamsil Linrung.
Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan Presidential Threshold 20 persen tidak menghasilkan kecerdasan junto meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Maka harus ada kompetisi bebas. Dalil MK gagal membuktikan bahwa sistem presidensial itu menjadi efektif. Padahal tak efektif," ucap Rocky.