Menurutnya, argumentasi open legal policy memberikan diskresi kepada kekuasaan. Untuk itu, ia berharap para pakar hukum tata negara semestinya berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.
"Demokrasi itu intinya adalah kebebasan manusia. Kalau MK menghalangi kebebasan manusia, artinya MK hendak mengembalikan kepada absolutisme. Mari kita bongkar dengan basis akademik dan argumentasi yang kuat. Siapapun berhak mempersoalkan dalik buruk dari MK itu," ujarnya.
Sementara itu, akademisi UNAIR, Radian Salman menyebut MK menggunakan pertimbangan mengenai desain penguatan sistem presidensiil dengan cara pandang dan asumsi MK, khususnya mengenai PT dihubungkan dengan stabilitas, governability dan penyederhanaan parpol.
"Kecenderungan yang terjadi, presiden terpilih akan menempuh cara-cara kompromi atau tawar-menawar politik (political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR," ujarnya.
Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan 'jatah' menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR, sehingga yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer," katanya.
Sedangkan Akademisi UGM, Zainal Arifin Muchtar menyebut jika open legal policy, yang didalilkan oleh MK dalam kasus ini, boleh diimplementasikan sepanjang tak berlaku sewenang-wenang dan tidak melampaui kewenangan.
"Lalu juga sepanjang tidak menimbulkan persoalan kelembagaan dan tidak membuat deadlock yang merugikan masyarakat, serta tidak melanggar rasionalitas dan moralitas," kata Zainal.