"Itu seolah-olah sekelompok atau segelintir orang, yang bisa saja menjerumuskan Jokowi. Karena Jokowi bisa dinilai rakyat, sebagai orang yang haus kuasa," kata Ujang saat dihubungi Tribunnews, Sabtu (15/1/2022).
Ujang pun menilai, apa yang dilakukan oleh Sekber itu tak layak.
Karena, hanya akan menjebloskan Jokowi.
"Kasihan juga Jokowi didorong-dorong, jangan sampai kejeblos oleh kelompok pendukungnya," tambah Ujang.
Ia juga mengatakan, bahwa seorang pemimpin hebat akan berhenti berkuasa jika sudah tiba saatnya berhenti.
Sehingga, tak perlu memaksakan diri, apalagi dengan jabatan lebih rendah dari sebelumnya, dari Presiden, turun ke Cawapres.
"Agar chusnul khotimah, lebih baik pendukung Prabowo dan Jokowi, memberi jalan kepada yang lain, agar bisa mengganti dirinya di 2024 nanti," jelas Ujang.
Tidak Elok dan Tidak Etis
Pakar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, dalam setiap hidup berkonstitusi, ada yang namanya budaya berkonstitusi.
Sehingga, menurut Feri, tidak elok kiranya Presiden Joko Widodo terjebak hasutan pendukungnya yang menikmati kuasa dengan kemudian meminta presiden memperpanjang masa jabatan atau menjadi wakil Prabowo Subianto.
Baca juga: Sekber Dorong Prabowo-Jokowi Maju Pilpres 2024, Pengamat: Mendegradasi Jokowi karena Turun Kasta
"Presiden itu tanggung jawab seumur hidup hanya saja masa jabatannya dibatasi 2 periode (10 tahun). Setiap yang habis periode dalam budaya berkonstitusi tetap dipanggil presiden," kata Feri saat dihubungi Tribunnews, Sabtu (15/1/2022).
Feri pun tak bisa membayangkan, jika seseorang yang sebelumnya dipanggil Presiden, malah berminat menjadi calon wakil presiden.
Terlebih, menjadi Cawapres dari orang yang pernah dikalahkannya dua kali berturut-turut dalam Pilpres.
"Tidak elok dan tidak etis jika presiden maju jadi wakil (presiden). Ibarat sudah jadi jenderal tapi tiba-tiba berminat jadi kopral. Enggak boleh terjadi itu," ujar Feri.