Misalnya dalam hal realignment FIR mengapa Indonesia memberikan wilayah yang luas kepada Singapura untuk terus mengelola penerbangan dari ketinggian 0 – 37.000 kaki.
Hasan juga mengkritisi DCA yang dalam pasal 51 UNCLOS, disebutkan pemerintah bahwa Singapura berhak melakukan pelatihan di perairan Natuna.
“Menurut bacaan saya tidak begitu. Lagi pula kalau Singapura mengklaim itu sebagai haknya untuk berlatih yang katanya dijamin oleh pasal 51, biarlah Singapura yang membuktikan klaimnya. Karena sesuai prinsip hukum, siapa yang mengklaim dialah yang kewajiban membuktikan. Bukan kita yang sibuk mencarikan pembenarannya,” kata Hasan.
Terkait joint statement antara Menteri Pertahanan RI – Singapura, Hasan membeberkan kalau DCA tahun 2007 tentang Natuna ada cacatnya.
Baca juga: Perjanjian FIR Berpotensi Tabrak Undang-Undang Penerbangan, Ini Penjelasan Kemenhub
DCA 2007 memuat, izin memberikan wilayah daratan Riau, perairan Riau dan sebagian perairan Natuna untuk Singapura melakukan pelatihan penembakan udara.
Hasan menjelaskan ada bagian tentang Riau darat dan Riau Lautan memang ada implementing arrangementnya (penerapan pengaturan), dan itu kesepakatan antara RI – Singapura.
Sedangkan berkaitan dengan Natuna tidak ada implementing arrangement-nya.
Belum lagi terkait perjanjian ekstradisi, yang menurutnya dengan dibekukannya hasil perundingan tentang ekstradisi, membawa konsekuensi dibekukannya perjanjian DCA 2007.
“Mengenal perjanjian ekstradisi dan DCA 2007, Singapura secara sepihak telah membekukan perjanjian ekstradisi. Uniknya pembekuan itu tidak dilakukan secara resmi (lewat surat atau nota diplomatik), tapi lewat pertemuan informal di Jakarta. Bukan dengan Menlu, tapi antara pejabat tinggi Singapura dan Menhan Juwono Sudarsono,” ujarnya.