Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gira Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengatakan ada beberapa hal yang bisa diinterpretasikan dari rencana pengadaan 42 unit pesawat tempur Dassault Rafale dari Prancis dan 36 unit pesawat tempur F-15ID dari Amerika Serikat.
Pertama, kata dia, kondisi tersebut semakin menunjukkan bahwa kawasan Indo-Pasifik mempunyai nilai strategis dalam dinamika geopolitik di masa mendatang.
Mau tidak mau, lanjut dia, negara besar di antaranya Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis merasa ingin terlibat dalam pusaran dinamika geopolitik kawasan.
Dengan demikian, kata dia, rencana pengadaan tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika lingkungan strategis kawasan dan Indonesia dinilai sebagai salah satu mitra strategis negara tersebut untuk dapat berkiprah di kawasan.
Kedua, lanjut dia, rencana pembelian tersebut tentu saja memang dibutuhkan mengingat kondisi alutsista TNI membutuhkan peremajaan.
Pandemi Covid-19, lanjut Anton, memang telah menjadi tantangan besar pemerintah dalam melakukan modernisasi alutsista.
Di tengah upaya pemulihan ekonomi, pembaruan alutsista tetap tidak bisa dihindari.
Sekalipun perang terbuka dalam skala besar di kawasan belum berpeluang besar, namun ketegangan dalam skala terbatas dapat terjadi sekalipun di masa pandemi.
Untuk itu peremajaan alutsista tetap harus dilakukan.
Ketiga, kata dia, rencana pembelian tersebut semakin menunjukkan pola diplomasi pertahanan yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dalam dua tahun terakhir, Prabowo terlihat untuk menjaga dan meningkatkan hubungan bilateral dengan lima negara pemilik hak veto di PBB.
Baca juga: Keseimbangan Kekuatan di ASEAN Berubah Jika RI Punya Rafale & F-15, Malaysia Semakin Ketinggalan
Hal tersebut, dapat dilihat dari intensitas pertemuan, baik yang dilakukan melalui kunjungan kerja maupun pertemuan di domestik.
Meski demikian, kata Anton, ada tiga isu krusial yang butuh perhatian serius.