Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati menanggapi kabar jutaan dosis vaksin yang terancam kedaluwarsa pada akhir Februari 2022.
Vaksin ini adalah jenis vaksin hibah dari negara-negara maju yang disalurkan ke beberapa negara di Afrika maupun Indonesia.
Mufidayati meminta agar mata rantai proses penerimaan, distribusi, penyimpanan hingga penyuntikan dievaluasi dengan mempertimbangan tanggal kedaluwarsa sebuah vaksin.
Selain itu, jangan sampai jumlah dosis vaksin kedaluwarsa bertambah banyak karena anggaran negara sudah digunakan dalam proses penerimaan, distribusi hingga penyimpanan.
"Meskipun vaksinnya gratis tapi proses dari diterima, distribusi hingga penyimpanan memakai anggaran negara. Kalau akhirnya kadaluarsa dan tidak bisa digunakan bisa mubazir sekaligus pemborosan anggaran negara. Harus dipertimbangkan mata rantai hingga proses vaksinasi dari sisi kadaluarsanya," kata Mufida dalam keterangannya, Selasa (1/3/2022).
Mufida meminta strategi percepatan vaksinasi perlu dilakukan. Sebab hingga 27 Februari 2022, baru 9 provinsi yang sudah mencapai vaksin lengkap dua dosis.
Baca juga: Enam Jenis Vaksin Booster yang Digunakan di Indonesia, Terbaru Ada Sinopharm
"Secara nasional saja kita masih kurang sedikit untuk vaksin lengkap dua suntikan baru 69 persen. Bahkan ada tiga provinsi yang cakupan vaksin dosis pertamanya di bawah 70 persen yakni Maluku, Papua Barat dan Papua. Artinya masih ada warga negara Indonesia yang masuk dalam program vaksin tapi belum mendapat satupun dosis vaksin," ucap Mufida.
Dia menyebut percepatan vaksinasi bisa dilakukan dengan beberapa cara.
Beberapa jenis vaksin yang mendekati kadaluarsa bisa digunakan sebagai vaksin booster yang capaiannya baru 4,7 persen secara nasional.
"Kemarin sudah ada percepatan untuk Lansia vaksin booster cukup menunggu tiga bulan sejak vaksin kedua tidak harus enam bulan. Ini bisa dikaji untuk petugas publik dan kelompok rentan lainnya bisa tidak cukup tiga bulan jaraknya untuk booster. Tapi ini harus melalui kajian sains dan kesehatan, jika memungkinkan kenapa tidak dilakukan," ujarnya.
Strategi kedua guna menghindari kemubaziran adalah mengukur diri dan realistis, dengan mempertimbangkan dari faktor distribusi dan penyimpanan ke 34 provinsi yang medannya tidak sama serta kesiapan tenaga vaksinator.
"Negara-negara Afrika saja berani menolak saat mau diberikan vaksin gratis yang tanggal kedaluarsanya tidak lama lagi dengan alasan realistis. Kita juga seharusnya bisa mengukur kemampuan penggunaan vaksin agar tak terjadi kemubaziran," ujarnya.
"Vaksin ini bukan hal yang baru, seharusnya kita bisa lebih berpengalaman. Mampu tidak mengjangkau wilayah yang luas dengan waktu yang tersedia. Ini persoalannya dengan penggunaan anggaran negara. Kalau memang tidak mampu berani untuk menolak," lanjutnya.
Mufida juga meminta untuk daerah-daerah yang cakupannya masih kecil agar dilakukan pendekatan sesuai kulturalnya dan dengan komunikasi intensif kepada tokoh masyarakat setempat.
Hal ini berhasil ia lakukan saat turun ke daerah-daerah dan melakukan pendekatan ke tokoh setempat agar bersedia dilakukan vaksinasi di daerah tersebut.
"Butuh pendekatan persuatif dan intensif memang akhirnya butuh ketelatenan. Seperti di Papua masih minim sekali capaiannya bisa lakukan dengan pendekatan kultur," kata Mufida.