Pada praktiknya, lebih lima dekade nyaris tidak ada elite eksekutif, legislative dan yudikatif yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bahkan mereka telah dikendalikan oleh segelintir orang tamak (oligarki) yang menindas kehidupan rakyat sehingga makin menderita dan sengsara.
Di tengah naiknya harga-harga kebutuhan pokok pangan dan energi, merosotnya daya beli rakyat dan pemiskinan mayoritas masyarakat menengah ke bawah.
"Sangat tidak etis ada segelintir elite politik malah mengusulkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden yang pasti memperpanjang kesengsaraan rakyat dan menjerumuskan Negara ke dalam jurang krisis politik yang bisa menyeret krisis ekonomi yang lebih dalam lagi," kata dia.
Sesungguhnya, akar-akar masalah kenegaraan dan kebangsaan kita sudah terjadi sejak era Orde Baru sampai hari ini dimana Trisakti Bung Karno diabaikan/dicampakkan (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi dan Berkepribadian dalam Kebudayaan) sehingga terjadi diskrepansi yang sangat jauh antara ide/konsep dan praksis pembangunan pada dataran ekonomi-politik dan sosial-budaya.
Baca juga: Rocky Gerung: Wacana Pemilu Ditunda Sengaja Dimunculkan Karena Kubu Penguasa Belum Punya Penerus
Yang ditandai dengan semakin tajamnya kesenjangan ekonomi dan sosial antar golongan, antarindividu dan antardaerah.
Akibatnya, kondisi bangsa dan negara kita kini makin lemah, rapuh menuju runtuh karena perilaku elite yang korup dan tamak, pragmatis dan oportunis, tanpa sense of urgency, sense of crisis dan sense of direction, lantaran lebih mengutamakan kepentingan bercokol (vested interest) yang dengan sendirinya tidak peduli pada kepentingan/hajat hidup rakyat banyak.
Situasi ini bakal bertambah sangat buruk sekiranya penundaan pemilu sungguh-sungguh terjadi.
Usulan penundaan pemilu dapat dikatakan sebagai “Kudeta konstitusi” atau Constitutional Coup.
Dia menjelaskan, yaitu “tindakan mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh Konstitusi”.
"Kudeta Konstitusi ini sangat berbahaya karena merusak sistem ketatanegaraan kita dan menghancurkan konsolidasi demokrasi akibat keserakahan nafsu kekuasaan oleh segelintir elite politik dan oligarki, yang pada gilirannya menjerumuskan Presiden Joko Widodo ke dalam krisis politik dan krisis legitimasi," ujarnya.
Penundaan pemilu tersebut menjadi preseden buruk karena bisa menjadi acuan Presiden berikutnya untuk dengan mudah mengubah konstitusi sesuai dengan kepentingan kelompok/golongannya sehingga membuat demokrasi kita makin sulit dikonsolidasi, yang pada gilirannya membuat kerusakan kehidupan berbangsa bertambah parah dan menjerumuskan bangsa kita ke dalam jebakan negara gagal (failed state).
Baca juga: Polemik Wacana Penundaan Pemilu 2024 , Ini Kata Jubir Prabowo Subianto
Merespon usulan penundaan pemilu dengan konsekuensi terjadi perpanjangan masa kekuasaan Presiden, maka perlu digarisbawahi bahwa Partai-partai politik yang setuju/sepakat dengan usulan tersebut niscaya ditinggalkan rakyat, hina, dan tercela di mata rakyat, karena melakukan Abuse of Power.
"Kita ingat bahwa "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely," ujarnya.
Demikian pernyataan keprihatinan sampaikan.
Pernyataan ini merupakan tanggung jawab politik, moral dan sejarah, agar segenap komponen bangsa ( ormas pemuda, organisasi mahasiswa, intelektual, akademisi, masyarakat sipil, organisasi buruh, Partai Politik, Presiden, DPR RI, TNI, Polri), berkomitmen untuk mengawal dan menjaga konstitusi tetap kokoh dipegang siapapun yang menyelenggarakan kekuasaan Pemerintahan Republik Indonesia.
Presidium Poros Peduli Indonesia (POPULIS) terdiri dari Muhtadin Sabili (Koordinator Presiduim), Ahmad Nawawi (Anggota), Korneles Galanjinjinay (Anggota), Bursah Zarnubi (Anggota), Ariady Achmad (Anggota), Anthony Budiawan (Anggota), Herdi Sahrasad (Anggota), Umar Husen (Anggota), Muhammad Gamari Sutrisno (Anggota), dan Sayuti Asyathri (Anggota).