TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengungkapkan keraguannya terkait bantahan Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak mengekor Amerika Serikat (AS) terkait Resolusi Majelis Umum PBB tentang Agresi Rusia ke Ukraina.
Karena Rektor Universitas Jenderal A Yani menjelaskan, di tengah bantahan Kemlu tersebut, Juru Bicara Deplu AS, Ned Price, tanggal 2 Maret menyampaikan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) AS, Wendy Sherman, melakukan pembicaraan dengan Menlu Retno Marsudi.
"Wamenlu AS menyampaikan terima kasih kepada Menlu Retno atas peran Indonesia menjadi ko-sponsor Resolusi MU PBB atas Rusia dimana Wamenlu mengutuk serangan Rusia yang direncanakan, tidak diprovokasi dan tidak berdasar terhadap Ukraina," jelas Hikmahanto dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Jumat (4/3/2022).
"Menjadi pertanyaan apakah Indonesia tidak mengekor apa yang dikehendaki oleh AS?"demikian ia mempertanyakannya.
Hikmahanto pun memberikan tiga alasan mengapa pertanyaan demikian muncul.
Pertama, Indonesia telah mengikuti langkah AS untuk menghakimi serangan yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina sebagai serangan yang salah dan patut dikutuk.
Baca juga: Rusia Serang PLTN Zaporizhzhia, PM Inggris Langsung Serukan Rapat Darurat DK PBB
"Padahal posisi Presiden Jokowi dalam cuitan tweeter adalah hentikan perang, bukan mengutuk," jelasnya.
Kedua, Indonesia berperan sebagai ko-sponsor dari Resolusi MU PBB, menjadi pertanyaan siapa yang sponsor utamanya? Jangan-jangan AS.
Ketiga, bisa jadi utusan Indonesia sebagai ko-sponsor diberi kesempatan untuk memasukkan sejumlah kata. Namun apakah kata tersebut signifikan untuk mencerminkan arahan Presiden Jokowi?
"Jangan-jangan kata yang disampaikan bersifat umum dengan mengutip kata yang ada dalam Piagam PBB. Atau jangan-jangan justru memperkuat Resolusi yang disponsori oleh AS," ucapnya.
Bahkan dapat dipertanyakan, lanjut dia, apakah dengan diakomodasinya sejumlah kata lalu Indonesia bersedia untuk melepaskan politik luar negeri bebas aktif?
Dalam konflik Rusia dengan Ukraina, menurut dia, tidak seharusnya Indonesia menghakimi siapa yang salah dan siapa yang benar, atau apakah serangan yang dilakukan berlandaskan hukum internasional atau tidak.
"Sebagai negara yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif maka Indonesia seharusnya menjaga jarak yang sama antara para pihak yang bertikai. Indonesia tidak perlu terlibat dalam isu yang menjadi perbedaan," tegasnya.
"Indonesia seharusnya mengedepankan pengakhiran perang, perlindungan rakyat sipil dan perdamaian abadi," jelasnya.