Isnur juga menganggap tren itu kian tampak setelah Artidjo Alkostar tidak lagi duduk sebagai hakim agung.
“Setelah Pak Artidjo pensiun kita melihat ada semacam perubahan semangat di MA dengan memberikan putusan ringan atau membebaskan terdakwa perkara korupsi,” jelasnya.
Tak ketinggalan, kritik juga dikatakan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Menurutnya, MA harus melihat kasus yang menimpa Edhy dari segi jabatannya sebagai menteri.
Hadjar menilai jabatan tersebut seharusnya menjadi faktor pemberat dalam perkara korupsi Edhy ini.
“Jika MA mempertimbangkan kinerja seseorang ketika menjabat dalam jabatan publik sebagai menteri, dalam kasus Edhy Prabowo maka seharusnya jabatan itu menjadi faktor yang memberatkan hukuman,” ujar Hadjar.
Dari segi hukum, kata Hadjar, orang yang menduduki jabatan publik sebagai menteri harus melahirkan kewajiban dan memberikan yang terbaik kepada masyarakat.
Lalu, lanjutnya, menteri diangkat oleh presiden dan digaji oleh rakyat karena pendapatan negara berasal dari pajak rakyat.
“Ketika dia melakukan korupsi dalam jabatannya,sesungguhnya itu justru merupakan suatu pengkhianatan terhadap tugas dan kewajiban kepada negara dan rakyat,” tuturnya.
Kemudian, Hadjar mengatakan MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indoensia memiliki kewenangan mengurangi atau menambah hukuman.
Sementara, hukuman adalah konteks yuridis dari konsekuensi perbuatan seseorang.
Hadjar menambahkan, masa dan bentuk hukuman itu dibatasi oleh pasal-pasal yang dilanggar, atau ketentuan-ketentuan hukum pidana.
“Hakim dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tidak boleh memberikan hukuman melebihi batas maksimal dari hukuman dalam sebuah ketentuan.”
“Bahwa ada pengurangan atau penambahan hukuman itu memang kewenangan lembaga peradilan,” kata Hadjar.