Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, pemerintah seharusnya bisa memerintahkan produsen minyak sawit untuk melakukan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) ke perusahaan minyak goreng.
“Kalau CPO-nya tidak jalan, pemerintah harus berani cabut HGU perusahaan kelapa sawit itu. Perusahaan minyak goreng juga bisa dicabut izinnya kalau tidak memproduksi minyak goreng yang sesuai kebutuhan rakyat,” kata Dasco.
Namun, menurut Dasco, permendag tersebut juga akhirnya tidak efektif menyelesaikan polemik minyak goreng.
"Tapi faktanya, kebijakan ini hanya jadi macan kertas. Kebijakan ini tidak bisa menyelesaikan persoalan minyak goreng,” ujar dia.
HET Dicabut Bukan Solusi, Beri Pilihan Sulit pada Rakyat
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto juga mengkritik kebijakan Mendag mencabut HET minyak goreng.
Rofik menilai pencabutan HET minyak goreng bukan lah solusi karena sama saja menyerahkan harga minyak sesuai mekanisme pasar.
Pencabutan HET ini disebutnya malah menambah kesengsaraan rakyat.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi VI Dukung Pemerintah Subsidi Minyak Goreng Curah HET Rp14.000/Liter
Terlebih, banyak bahan pokok lainnya yang juga rata-rata naik disertai kondisi pandemi Covid-19.
“Pemerintah seolah memberikan pilihan yang sulit kepada rakyat,” ucap Rofik, Kamis (17/3/2022) dikutip dari dpr.go.id.
Menurut dia, rakyat seolah diminta memilih bak makan buah simalakama, memilih antara barang susah didapat tetapi harga murah atau barang banyak tapi harga mahal.
Rofik berharap pemerintah seharusnya dapat menghadirkan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang terjangkau.
"Ini ironi negeri penghasil sawit terbesar. Karut-marut pengelolaan minyak goreng di negeri penghasil 58 persen sawit dunia adalah ironi."
"Masalah minyak goreng berlarut-larut. Sesuatu yang aneh di negeri penghasil bahan baku minyak goreng nomor satu, tetapi minyak goreng malah langka," imbuh dia.