TRIBUNNEWS.COM - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia menggelar dialog kebangsaan bertajuk “Penggunaan Media Sosial dalam Membangun Moderasi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0”. Acara ini diselenggarakan di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, pada Rabu (30/03/2022).
Dialog kebangsaan tersebut dimoderatori oleh Menteri Agama RI periode 2014-2019, Luqman Hakim Saifuddin.
Pada kesempatan ini, ia menyoroti para tokoh, pemuka agama, akademisi, hingga influencer yang menurutnya memiliki pengaruh di media sosial, termasuk dalam menjaga kebhinekaan.
Ia menyebut bahwa penting bagi seluruh pihak untuk menyamakan narasi yang membangun persatuan terkait moderasi beragama dalam merawat kebhinekaan.
Dalam konteks kekinian, keberadaan media sosial dapat menjadi ruang untuk menyampaikan pesan kearifan tersebut.
"Peran tokoh-tokoh agama penting, karena akar dari ajaran agama itu sendiri yang universal yaitu kemanusiaan. Karenanya kita juga perlu lebih proaktif mengisi media sosial dengan ajaran agama," jelasnya.
Luqman melanjutkan, “Ciri Indonesia adalah heterogenitas, namun juga berdampingan dengan religiusitas. Sebagai ruang menyampaikan pendapat, media sosial sangat positif. Namun juga bisa berdampak negatif.”
Untuk itulah diperlukan peran negara, salah satunya BPIP RI, dalam rangka mengawal berbagai proses yang terjadi di ruang media sosial.
Sehingga pendapat yang disampaikan pun sesuai dengan norma-norma yang menjunjung kebhinekaan dan tidak melebih-lebihkan.
Sementara itu, Kepala BPIP RI Yudian Wahyudi mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki agama, bahasa, hingga kebudayaan yang begitu beragam. Untuk menyatukan keberagaman tersebut, menurut Yudian, dibutuhkan Pancasila.
"Kita itu kan majemuk, terutama agama. Dibutuhkan pemersatu, yaitu Pancasila. Untuk mengamalkannya menjadi tanggung jawab semua Warga Negara Indonesia (WNI). Memahami Pancasila pun tidak bisa terputus, harus sila satu sampai lima," tegasnya.
Dari kalangan akademisi, hadir pula Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A.
Ia menyoroti hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia paling banyak melakukan perundungan se-Asia Tenggara. Tak sedikit jumlah orang yang menjadi korban perundungan di media sosial.
"Pengguna internet diharapkan menahan diri, memberi ruang berpendapat, dan sering beri apresiasi. Namun sebaliknya, yang terjadi adalah pihak yang berbeda pendapat dipojokkan sehingga menimbulkan trauma," ujarnya.