TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo tidak menampik dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena memiliki kedekatan dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.
Hal itu disapampaikan saat wawancara di kantor Tribun Network, Rabu (30/3/2022).
Hasto Wardoyo harus rela melepas jabatan sebagai Bupati Kulon Progo di periode kedua.
Ia memilih tawaran Presiden Joko Widodo untuk dilantik menjadi Kepala BKKBN Pusat pada 1 Juli 2019.
"Sudah pastilah ada kedekatan dengan Bu Mega karena saya memang berpolitik di PDI Perjuangan. Tentu kita berafiliasi dengan parpol bukan untuk mencari kedudukan atau mencari uang," ucapnya.
Sebagai seorang kader, Hasto mengaku tegak lurus, tidak pindah-pindah partai.
Sangat lumrah, menurutnya, apalagi PDIP sedang memegang kekuasaan pemerintahan dua periode.
"Saya kira jelas ada benarnya saya di BKKBN karena ada kedekatan dengan Bu Ketua," imbuhnya.
Berikut wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo:
Ada yang menyebut Pak Hasto ditunjuk menjadi Kepala BKKBN karena kedekatan dengan Bu Megawati Ketum PDIP?
Saya memang tidak melalui proses wawancara, tidak melalui seleksi atau fit and proper test. Tapi saat itu saya mendapatkan SK dan saya baru menjalani periode kedua Bupati Kulon Progo selama dua tahun.
Waktu Surat Keputusan (SK) turun di bulan Februari - Maret 2019. Waktu itu saya sedang finishing Bandara Jogja Kulon Progo.
Tentu saja saya siap ditempatkan di mana saja. Kalau ditanya ada kedekatan dengan Bu Mega sudah pastilah karena saya memang berpolitik di PDI Perjuangan.
Semua pejabat daerah sebagai pejabat politik pasti berafiliasi pada partai politik.
Tentu kita berafiliasi dengan parpol bukan untuk mencari kedudukan atau mencari uang. Oleh karena itu tidak mengenal pindah-pindah politik sehingga kami tegak lurus.
Saya kira jelas ada benarnya saya di BKKBN karena ada kedekatan dengan Bu Ketua. Apalagi sekarang PDI Perjuangan memegang kekuasaan. Jadi saya kira itu hal yang lumrah.
Baca juga: Kata Kepala BKKBN Dokter Hasto: Konflik Dokter Terawan Versus IDI Ada Solusinya
Waktu diminta menjadi Kepala BKKBN apakah mendapat catatan khusus dari Presiden Joko Widodo?
Iya saya ada diskusi singkat pada saat sebelum dilantik. Yang menarik tentu adalah jumlah anak, Pak Presiden tanya saya bagaimana menyikapi jumlah anak ini.
Arahan dari Bapak Presiden agar kita lebih mengarah kepada kualitas, kalau tahun 1980-an kita masih fokus pada kuantitas.
Ada istilah total fertility rate atau angka kelahiran total. Sekarang tiba waktunya kita menyiapkan bonus demografi.
Tentu arahan Bapak Presiden berikutnya bahwa penting berbicara berdasarkan data. Dan memerlukan pemimpin yang terjun langsung ke lapangan.
Berapapun uang negara yang keluar untuk layanan masyarakat harus sampai pada rakyat.
Itu kan arahan yang sifatnya memotivasi karena saya juga pernah menjadi Bupati dua periode sehingga saya paham arahan dari Bapak Presiden. Saya juga pernah merasakan pahit getirnya menjadi pelayan masyarakat.
Mungkin Pak Presiden juga tahu latar belakang saya sebagai dokter kandungan sehingga sangat dekat lah dengan program Keluarga Berencana (KB). Urusannya perut ke bawah dan lutut ke atas.
Bisa diceritakan profesi Pak Hasto sebagai dokter kebidanan bahkan ahli bayi tabung?
Saya memang mencintai profesi dokter. Jadi sejak dahulu saya sekolah di sekolah kedokteran. Sampai menjadi Bupati pun saya masih tetap praktik, kalau tidak memeriksa pasien mesti kangen.
Sementara bayi tabung ini kan merupakan advance teknologi. Menurut saya Indonesia jangan sampai ketinggalan, kita tidak boleh bergantung pada asing terus. Teknologi-teknologi modern harus bisa kita kerjakan sendiri.
Apakah sekolah kedokteran ahli bayi tabung sangat sulit?
Sekolah di kedokteran harus urut ya, dari mulai dokter umum kemudian ambil spesialis, setelah itu sub spesialis. Jadi bukan sulitnya tapi cukup lama. Saya kalau di total-total bisa sampai 19,5 tahun.
Tentunya biaya yang dikeluarkan mahal?
Pada zaman saya kuliah kedokteran tidak mahal juga sih. (Tribun Network/Reynas Abdila)