Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Angga menjelaskan, ada dua jenis sanksi yang akan dikenakan pada pelaku pidana anak menurut UU SPPA, yakni sanksi tindakan dan sanksi pidana.
Sanksi tindakan pada anak lebih ke arah non pidana, seperti pengembalian pada orang tua, diserahkan ke LPKS hingga mengikuti pendidikan formal.
"Ini lebih (Sanksi) preventif belum berkaitan dengan badan," ucap Angga.
Baca juga: Soal Klitih di Jogja, Psikolog Forensik Singgung Peran Keluarga dan Sekolah Perlu Hadir
Sementara, sanksi pidana sesuai pasal 71 UU SPPPA bisa berupa peringatan, pidana dengan syarat yang terdiri atas pembinaan dua lembaga pelayanan masyarakat atau pengawasan.
Kemudian, dengan pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, serta pidana penjara.
Angga menambahkan, hukuman penjara pada pelaku pidana anak juga harus memenuhi beberapa syarat.
"Penahanan terhadap anak hanya didapat dilakukan dengan syarat anak telah umur 14 tahun atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman 7 tahun lebih."
"Ketika anak (pelaku) itu berusia 14 tahun maka bisa ditahan dipenjara," jelas Angga.
Baca juga: Penganiyaan Maut di Gedongkuning Yogyakarta Bukan Klitih, Polisi Ungkap Pemicunya
Selain upaya peradilan UU SPPA juga mengakui adanya diversi.
Diversi yakni penyelesaian perkara non pengadilan dengan pendekatan restorative justice bertujuan mendamaikan antara pelaku dengan korban.
Namun, Angga mengingatkan tidak semua kasus kriminalitas anak akan berakhir diversi.
Angga berpendapat, pelaku tindakan pidana berat, seperti klitih tetap harus ada penindakan atau penahanan.
"Tidak semua perkara melibatkan kemudian akan berakhir diversi."
"Ada ancaman-ancaman yang benar-benar menyatakan di anak bawah umur ini bisa dipenjara dengan kategori tertentu," ucapnya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)