TRIBUNNEWS.COM - Hari Raya Idul Fitri sering dibarengi dengan halal bihalal.
Menurut Prof. M. Quraish Shihab dalam bukunya "Lentera Al Quran" halaman 334, disebutkan halal bihalal adalah dua kata yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri dan hanya dikenal di Indonesia.
Kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram atau sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa.
Sehingga, halal bihalal adalah menjadikan sikap satu pihak terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan memohon maaf.
Kata halal bihalal sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) dan memiliki dua arti.
Arti pertama adalah perihal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, dikutip dari laman Kemdikbud.
Kedua, juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi, biasanya oleh sekelompok orang dengan cara berkumpul di suatu tempat yang luas, bersalam-salaman dan makan bersama.
Lantas, bagaimana asal usul Halal bihalal?
Baca juga: Jokowi Halalbihalal dengan Ma’ruf Amin secara Virtual, Saling Tanyakan Cucu
Asal Usul Tradisi Halal bihalal
Dikutip dari laman Menpan RB, Mahbub Djunaidi, tokoh pers nasional yang juga mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1965-1970, dalam buku Asal Usul mengatakan, “Acara Halal Bihalal itu bukannya acara wajib melainkan tradisi belaka, namun manfaat bersilaturahmi itu amatlah besar.”
Halal Bihalal sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I yang bernama kecil Raden Mas Said atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Namun, istilah Halal Bihalal saat itu dikenal dengan istilah sungkeman.
Para prajurit sekaligus masyarakat melakukan sungkem dengan keluarga Mangkunegara sekaligus bermaafan satu sama lain.
Hal ini menegaskan, tradisi silaturahmi pasca Idul Fitri (Halal Bihahal) itu sudah dimulai jauh sebelum tercetusnya istilah Halal Bihalal sendiri.