Dengan begitu kata dia, menjadi perbuatan inkonstitusional dengan menjadikan hasil audit BPKP Kantor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta dalam rangka penghitungan kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi pengelolaan dana TWP AD Tahun 2019 sampai dengan 2020 berdasarkan surat Nomor : SR-1098 D5/12/2001 tanggal 28 Desember 2021.
Hal tersebut tentunya kata Yunio menjadikan tatanan hukum konstitusi menjadi tidak beraturan, karena pada dasarnya, perhitungan kerugian negara merupakan tugas mutlak Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) berdasarkan Konstitusi dan undang-undang.
Terlebih diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
"Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare (mengumumkan, red) kerugian keuangan negara," ucap Yunio.
Dengan demikian berdasarkan perspektif hukum, Yunio menyebutkan bahwa, tidak ada unsur keuangan negara dalam perkara yang menjerat kliennya itu.
Tak hanya itu, perhitungan kerugian negara pun menjadi tidak memiliki kekuatan hukum dengan sendirinya karena tidak ada unsur keuangan negara.
"Kalaupun dipaksakan maka perhitungan kerugian keuangan negara menjadi inskonstitusional dan merusak tatanan hukum konstitusi yang menyebabkan penegakan hukum bertentangan dengan konstitusi," kata Yunio.
Sehingga yang ada, menurutnya, menjadikan perbuatan menuduh atau mendakwa dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi merupakan kekeliruan penerapan hukum yang sangat mendasar dan terkesan dipaksakan.
Tak hanya itu, dirinya juga menilai jika proses perkara tetap dijalankan maka membuat jalannya persidangan menjadi inkonstitusional.
"Oleh karena, perbuatan yang didakwakan tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan maka patut secara hukum dakwaaan penuntut umum tidak dapat diterima," kata Yunio.