“Somad diwawancarai, setelah itu kelompok tersebut ditolak masuk ke Singapura dan ditempatkan di feri kembali ke Batam di hari yang sama,” demikian bunyi poin pertama.
Dikenal Ekstremis dan Ajarkan Segragasi
Lalu di poin kedua, Kemendagri Singapura menilai penolakan kehadiran UAS di Singapura lantaran ia dikenal sebagai pemuka agama yang ekstrimis dan mengajarkan segregasi.
Dalam poin ini pun dijelaskan contoh ajaran dari UAS adalah dirinya mengajarkan bahwa bom bunuh diri diperbolehkan dalam konteks konflik Israel dan Palestina serta dianggap sebagai operasi ‘syahid’.
Baca juga: UAS Dilarang Masuk Singapura, Pengamat: Diterima Tidaknya WNA Masuk Suatu Negara Adalah Kedaulatan
Kemudian ajaran lain yang dianggap bertentangan dengan Singapura adalah komentar merendahkan umat agama lain seperti Kristen dengan mendeskripsikan salib sebagai tempat tinggal setan atau iblis.
Selain itu, UAS juga dianggap telah mempublikasikan non muslim sebagai ‘kafir’.
“Somad dikenal sebagai pemuka agama yang memiliki sifat ekstrimis dan mengajarkan segregasi di mana ini tidak diterima di lingkungan sosial Singapura yang multi rasial dan multi agama.”
“Contohnya, Somad telah mengajarkan bahwa bom bunuh diri diperbolehkan dalam konteksi konflik Israel-Palestina dan dianggap operasi ‘syahid’.
“Ia juga telah berkomentar merendahkan umat dari kepercayaan lain seperti Kristen dengan mendeskripsikan salib sebagai tempat tinggal setan atau iblis.”
“Selain itu, Somad telah mempublikasikan terkait umat non muslim sebagai ‘kafir’,” tulis poin kedua.
Dinilai Seolah-olah Kunjungan Sosial
Selanjutnya pada poin terakhir disebutkan, masuknya pengunjung ke Singapura tidak dapat dilakukan secara otomatis ataupun menjadi hak.
Baca juga: DAFTAR Negara yang Pernah Menolak Ustaz Abdul Somad, Tak Hanya Singapura
Kemendagri Singapura juga menyebut, setiap kasus dinilai berdasarkan kemampuannya sendiri sedangkan UAS, berdasarkan pernyataan tersebut, telah berusaha memasuki Singapura dengan pura-pura untuk kunjungan sosial.
“Pengunjung yang masuk ke Singapura tidak dapat dilakukan secara ototmatis ataupun dianggap memiliki hak. Setiap kasus dinilai berdasarkan ciri-ciri di dalamnya.”