TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - B.J.Habibie (25 Juni 1936 – 11 September 2019), mantan Presiden yang menggantikan mentor politiknya, Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008), sebetulnya bukan orang yang meniti karier di bidang politik. Sebagai orang jenius di bidang rekayasa teknologi, ia tengah berada di posisi puncak kariernya di perusahaan penerbangan di Jerman. Posisinya sebagai top leader.
Rupanya garis nasib menyorongnya ke arah lain. Pertemuannya dengan Soeharto terjadi di Makassar saat Soeharto berusia 28 tahun dan Habibie 13 tahun.
Pada tahun 1950-an, Soeharto yang menjabat Komandan Brigade Garuda Mataram, bermarkas di dekat rumah Habibie. Habibie mengagumi Soeharto yang gagah mengangkat senjata, sementara Soeharto tertarik pada kecerdasan Habibie.
Nasib yang membawa Habibie menjadi orang dekat Presiden Soeharto, dengan berkali-kali dipercaya jadi menteri dan akhirnya mendapat tongkat estapet kepemimpinan saat Soeharto jatuh dari kekuasaannya.
Saat jadi Menteri, Habibie jadi anak emas Soeharto. Dalam sejarah kepresidenannya, Seoharto tidak pernah mengucapkan hari ulang tahun ke para menterinya secara tertulis panjang lebar, kecuali pada Habibie.
Bahkan Soeharto menuliskan kronologi pertemuannya dengan Habibie secara langsung. Seperti ditulis dalam buku berjudul “Habibie & Soeharto” yang ditulis A. Makmur Makka, berikut tulisan Soeharto saat Habibie menjelang ulang tahun ke 50:
“Setelah perjuangan revolusi fisik, pada tahun 1950 Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan atas wilayah kekuasaannya, dan turut mengikuti Konferensi Meja Bundar. Terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Angkatan Perang Indonesia Serikat (APRIS), di mana TNI sebagai kekuatan pokok dan bekas KNIL masuk di dalamnya. KNI, yang tidak masuk APRIS menjadi Koningkelyke Leger (KL). Walaupun RIS telah terbentuk, tidak melunturkan semangat rakyat untuk mewujudkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Timbullah Gerakan di semua daerah, dengan pernyataan-pernyataan dan demonstrasi yang menghendaki terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan inilah yang dapat diterima oleh bekas KNIL, yang telah diterima di APRIS. Mereka memberontak dan dipimpin oleh Kapten Andi Azis, dengan bantuan KNIL yang tidak mau masuk APRIS dan dibantu pula oleh KL, mereka menahan pimpinan APRIS di Makassar yang sekarang disebut Ujung Pandang.
Saya memperoleh kepercayaan pertama untuk memimpin Brigade Expedisi dari Divisi Diponegoro dengan nama Brigade Mataram, untuk menumpas pembenrontakan Andi Azis di Makassar (Ujung Pandang). Semula direncanakan melakukan pendaratan di Bontain/Bulukumba, tetapi diubah langsung mendarat di Makassar (Ujung Pandang). Seluruh Brigade, ditambah batalyon Worang, menduduki Kota Ujung Pandang, Parepare, Sungguminasa, dan Bontain. Markas Brigade berada di Jalan Klaperlaan.
Dalam operasi teritorial menggalang persatuan dengan rakyat, segenap anggota Brigade selalu berhubungan dengan rakyat dalam rangka manunggal dengan rakyat. Selain menjalankan anjangsana pada rakyat, lebih-lebih pada hari libur. Anggota Staf Brigade juga sangat erat hubungannya dengan penduduk sekitar markas, di antara penduduk di sekitar Brigade Mataran, di Jalan Klaperlaan, itu adalah keluarga Habibie.
Semua perwira Brigade Mataram sangat erat hubungannya dengan keluarga Habibie, karena Ibu Habibie berasal dari Yogta, dan fasih berbahasa Jawa. Bila ngobrol berbahasa Jawa merupakan hiburan sendiri, karena jauh dari keluarga.
Pada suatu hari, pada tengah malam, semua anggota Staf Brigade masih tertidur nyenyak, datanglah anak-anak keluarga Habibie di asrama dengan tangis yang mengharukan, memberi tahu bahwa ayahnya sakit. Bersama dengan dokter Isran (Dokter Brigade Mataram), kami berangkat ke rumahnya yang hanya di seberang jalan. Dokter Irsan segera memberi pertolongan dan saya menemaninya di sampingnya.
Manusia berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Bapak Habibie kena serangan jantung dan tidak tertolong lagi. Mengembuskan napas terakhir di depan saya, Dokter Irsan, dan keluarga Habibie. Saya berkesempatan menutup matanya sambil memohonkan ampun pada Tuhan Yang Mahakuasa.
Suasana duka meliputi keluarga Habibie, apalagi pada waktu itu Ibu Habibie sedang mengandung dan B.J. Habibie baru belasan tahun umurnya. Keluarga Brigade Mataram turut berduka cita dan membantu penguburannya.