News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

24 Tahun Reformasi, Demokrasi Indonesia Dinilai Ada di Situasi Rentan

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa mahasiswa Universitas Trisakti menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2022). sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti menyampaikan orasi mereka dalam rangka memperingati 24 tahun reformasi yang jatuh pada 12 Mei 2022. Tribunnews/Jeprima

Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Situasi demokrasi Indonesia setelah 24 tahun reformasi dipandang tak alami kemunduran.

Namun lebih tepatnya berada dalam situasi rentan.

Hal ini disampaikan Senior Fellow Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte dalam diskusi virtual '24 Tahun Reformasi Arah Demokrasi Indonesia Kini', Jumat (20/5/2022).

"Kalau saya, merefleksikan ke belakang, mungkin kita bukan dalam situasi di mana demokrasinya mundur. Tapi saya menyebutnya sebagai rentan," ungkap Philips.

Ia mengatakan situasi demokrasi saat ini berjalan relatif sedikit goyah. Kegoyahan tersebut yang dapat membuat runtuh ataupun tetap berjalan namun lambat.

Baca juga: PSI: Belajar dari Filipina, Sejarah Reformasi Harus Diajarkan di Sekolah

"Jadi bisa saja tiba - tiba nanti kolaps (jatuh), atau bisa saja tetap jalan terus walaupun pelan. Jadi saya menyebutnya vulnerable atau rentan," terang dia.

Kerentanan demokrasi tersebut, kata Philips terjadi setidaknya karena tiga faktor. Antara lain soal institusional, ekonomi, dan perilaku politik.

Institusional berkaitan dengan sistem pemilu proporsional yang saat ini diterapkan. Sementara sisi ekonomi berkenaan dengan apakah rakyat terlibat dalam partisipasi ekonomi.

Hal ini bisa diukur dari sedikit banyaknya pelaku ekonomi kecil dan menengah yang berkontribusi terhadap perekonomian negara.

Sedangkan faktor ketiga adalah perilaku politik. Hal yang perlu dilihat kata Philips adalah apakah ruang publik kian mengecil menjadi sama seperti masa otoritarian atau justru kian membesar.

"Apakah perilaku politik kita berubah sejak 98 hingga hari ini? Apakah ruang publiknya itu juga ada? Kalau mengecil menjadi sama seperti di masa otoritarian, berarti secara perilaku kita tidak berubah. Ini menurut saya juga menjadi catatan," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini