Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang merupakan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, mengatakan terjadi peningkatan pendapatan negara ketika PT Timah bekerja sama dengan swasta.
Dalam sidang agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan pribadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu (18/12/2024), Suparta menyebut pajak yang diterima negara meningkat dari Rp902 miliar menjadi Rp2 triliun.
Royalti yang masuk ke kas negara juga naik dari Rp245 miliar menjadi Rp554 miliar.
"Pajak yang diterima negara dari Rp902 miliar meningkat menjadi Rp2 triliun, mayoritas kenaikan pajak didapat dari pembayaran pajak mitra pengirim Biji Timah CV yang sebelumnya tidak pernah ada. Pajak-pajak tersebut belum termasuk pajak-pajak yang kami bayar dari pelaksanaan kerjasama sewa smelter dengan PT Timah. Kemudian, royalti untuk negara dari Rp245 miliar meningkat menjadi Rp554 miliar," kata Suparta.
Bahkan lanjutnya pertumbuhan produksi PT Timah naik signifikan hingga 153 persen di mana produksi logam PT Timah pada tahun 2017 hanya 30 ribu ton, tapi setelah ada kerja sama dengan swasta, angka produksi naik di angka 76 ribu ton.
"Pertama, produksi logam di tahun 2017 sebanyak 30 ribu ton sekian, setelah kerjasama meningkat menjadi 76 ribu ton dan meningkat atau meningkat 153 persen,” katanya.
Suparta lalu mengungkap rasa herannya dengan sikap tebang pilih di kasus tata niaga timah ini. Lantaran, negara menganggap sah kontribusi pajak dan royalti dari PT Timah masuk ke kas negara. Tapi bijih timah yang diperoleh PT RBT dianggap sebaliknya, padahal berasal dari bijih timah yang sama.
"Pajak dan royalti yang diterima negara dan dividen yang diterima PT Timah dianggap sah dan menjadi penerimaan BUMN, sementara logam timah yang dikeluarkan PT Timah yang bijihnya dikumpulkan dari rakyat dianggap tidak sah dan menjadi beban saya. Padahal penerimaan pajak, royalti, dan dividen tersebut berasal dari bijih timah yang sama," kata Suparta.
Suparta menambahkan, kerja sama PT Timah dan smelter swasta dilaksanakan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku untuk penjualan bijih timah dan sewa smelter.
Dari kerja sama tersebut, pajak perusahaan swasta yang bekerja sama dengan PT Timah juga disetorkan ke negara dan memberikan kontribusi terhadap ekonomi di Bangka Belitung yang saat itu ekonominya tumbuh 7 persen atau tertinggi nasional sepanjang 2018-2020.
Selain memberikan kontribusi positif kepada daerah dan negara, kerja sama tersebut juga diklaim menjadikan posisi Indonesia sebagai eksportir nomor satu di mata dunia.
"PT Timah menjadi eksportir timah nomor satu di dunia. Adapun keuntungan kerjasama sebagai berikut, pertama, negara untung memperoleh pajak dan royalti, di mana untuk pertama kali, sebagai pembayar pajak tertinggi di tahun 2021. Kedua, PT Timah dapat menaikkan produksi logam dan ekspor meningkat sehingga meningkatkan devisa negara," ujarnya.
Dalam pleidoinya Suparta juga menyinggung angka kerugian dari kerusakan lingkungan sebesar Rp271 triliun yang dianggap naif.
Ia menyebut tidak mungkin selama kurun waktu 18 bulan pihaknya bisa merusak begitu luas alam Bangka Belitung. Sebab jika dihitung selama masa kerja smelter 2 tahun, area yang harus dibuka dan ditambang adalah 7.000 hektare setiap harinya.
"Mengenai kerugian negara yang disebabkan karena kerusakan lingkungan senilai Rp271 triliun, sungguh suatu tuduhan yang naif dan gegabah bagaimana mungkin dalam kurun waktu 18 bulan, kami bisa merusak begitu banyak dan luas terhadap alam Bangka Belitung,” katanya.
“Jika dihitung selama masa kerjasama smelter 2 tahun, maka area yang harus dibuka dan ditambang setiap harinya adalah 7.000 hektare," pungkas Suparta.