Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu'allimin) yakni sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Sepeninggal sang ayah pada 5 Oktober 1955, Buya Syafii masih menyelesaikan sekolahnya.
Tidak lama setelah tamat sekola, usia 21, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Setahun mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, Buya Syafii kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.
Buya Syafi masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964.
Ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.
Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS.
Buya Syafii lalu terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid dan Amien Rais.
Karir
Buya Syafii pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.
Setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia kemudian bergadang bersama temannya.
Ia juga sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo dan menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Ulama dan cendekiawan Indonesia pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Buya Syafii Maarif.