Lalu, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat, hingga sering menimbulkan konflik dimana-mana.
Lalu permasalahan terkait banyaknya perkebunan sawit yang belum memberikan upah buruh sesuai ketentuan.
“Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan oleh LBP?” ujarnya.
“Kalau itu yang dia ingin selesaikan, saya angkat topi dan bangga,” terangnya.
Lebih lanjut, Deddy mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali masalah dalam perkebunan sawit terkait luasan lahan.
Hal itu merugikan keuangan negara dari sektor penerimaan pajak, termasuk dugaan manipulasi pajak juga.
Menurutnya, kalau kelebihan lahan hasil caplokan perusahaan itu diberikan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat, akan memberikan kesejahteraan.
“Tapi kok Luhut tidak berpikir membereskan masalah lahan ini yang sudah merupakan konflik bersifat manifes dan sering memakan korban jiwa rakyat kecil. Saya ajak Pak Luhut ke Dapil daya di Kalimantan Utara bertemu dengan ribuan rakyat yang dirugikan oleh perusahaan sawit dengan sistem plasma, melihat barak-barak buruh sawit yang diperlakukan seperti budak. Itu semua persoalan bulu,” papar Deddy.
Deddy mengaku pihaknya merasa aneh jika yang dipersoalkan LBP adalah perusahaan besar yang berkantor di kuar negeri.
“Saya tidak berniat membela pengusaha sawit, bisa dikatakan saya anti perkebunan monokultur skala besar yang merusak lingkungan. Tapi sebagai Anggota DPR RI, saya mengatakan bahwa Pak Luhut itu salah fokus,” pungkasnya.
Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan mewajibkan seluruh kantor pusat perusahaan sawit untuk berada di Indonesia.
Langkah ini agar proses pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan perusahaan tersebut juga membayar pajak ke Indonesia.
"Saya lapor Presiden, 'Pak, headquater-nya (kantor pusat) harus semua pindah ke sini'," kata Luhut dalam seminar nasional Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL), pekan lalu.
Luhut mengatakan masih banyak perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak.
Untuk itu, kantor pusat perusahaan sawit harus pindah ke Indonesia.
"Bayangkan dia punya 300 ribu-500 ribu (hektare), headquarter-nya di luar negeri, dia bayar pajaknya di luar negeri. Not gonna happen. You have to move your headquarter to Indonesia," ujar Luhut.