Dalam perspektif hukum, Prof. Suparji mengatakan harus ada upaya sungguh-sungguh dan tidak sekedar jargon memberantas mafia peradilan, sehingga peradilan berlangsung secara ekonomis.
Ketika proses hukum berjalan, mestinya penyidik, penuntut, hakim, ketika memutuskan suatu perkara berpikir bagaimana biaya perkaranya, kondisi Lapasnya, beban negara dan sebagainya.
Sebab, banyak anggaran negara yang tersedot untuk mengatasi masalah hukum misalnya biaya makan di Lapas dan sebagainya.
Dalam konteks struktur hukum ini, ia mengharapkan penegakan hukum ini berlangsung transparan, akuntabel, berkualitas serta tidak memihak pada suatu pihak, tetapi berpihak pada kebenaran keadilan dan masyarakat.
“Penegak hukum ketika tindakan hukum harus perhatikan aspek ekonomi, harus berpikir keekonomian supaya negara ini tidak memiliki beban yang besar untuk menyelesaikan masalah hukum. Akan lebih baik misalnya uang-uang untuk sidang, Lapas, untuk beasiswa sekolah, membangun jalan dan sebagainya,” paparnya.
“Ini harus menjadi sebuah kesadaran nyata bagi kalangan penegak hukum sehingga tidak sekedar menjalankan tugas dan kewenangan tanpa berpikir beban negara,” tambahnya.
Dari sisi solusi perspektif budaya hukum, Prof. Suparji meminta mencegah terjadinya penegakan hukum yang berlebihan atau hukum yang saling melapor.
Hal ini, kata dia, tidak lepas fenomena reformasi dengan era keterbukaan. Pada satu sisi ia apresiasi ada kesadaran hukum menyelesaikan melalui jalur hukum, tetapi jalur hukum akhirnya menjadi tempat untuk menyelesaikan yang mestinya budaya musyawarah, memaafkan yang ditonjolkan.
“Saling lapor itu tadi, yang terpenting adalah bagaimana melakukan analisis efisiensi, analisis cost yang dikeluarkan,” katanya.
Di akhir orasinya, Prof. Suparji berpesan untuk menegakan nilai-nilai ideologi Pancasila dan konstitusi. Menurutnya, hal itu adalah bagian dari ibadah yang amanah.
Attachments area