Sebagai anggota TNI/Polri aktif, lanjut dia, mereka diatur dan tunduk pada regulasi induknya, termasuk ketika terdapat penugasan di luar instansinya (TNI/Polri).
Jika mengacu pada UU itu, kata dia, anggota TNI dan Polri yang ditugaskan ke jabatan sipil atau diluar instansi yang sudah diatur undang-undang tersebut, maka mereka harus mengundurkan diri atau pensiun dini terlebih dahulu dari dinas kemiliteran.
Pasal 47 ayat 1 UU TNI, kata dia, menyatakan bahwa Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Dengan demikian, menurutnya penempatan perwira TNI aktif sebagai Pj Kepala daerah tidak diperbolehkan dan harus mengundurkan diri dari dinas aktif kemeliteran.
Menurut Al Araf demikian juga terhadap personel Polri.
"Pasal 28 ayat (3) UU Polri menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," kata dia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurutnya perwira Polri aktif tidak diperbolehkan mengemban jabatan-jabatan yang tidak terkait dengan tugas-tugas kepolisian dan diharuskan untuk pensiun atau mengundurkan diri.
Penunjukan prajurit TNI aktif sebagai Pj kepala daerah, kata dia, berisiko menimbulkan konflik hukum bagi prajurit TNI tersebut.
"Pertanyaannya kemudian adalah, jika terdapat dugaan pelanggaran tindak pidana, apakah Pj kepala daerah tersebut tunduk pada mekanisme peradilan militer atau peradilan umum?" kata Al Araf.
Baca juga: Besok, Pj Gubernur Aceh Dilantik Mendagri di Kemendagri, Diduga Ini Sosok Pengganti Nova Iriansyah
Mengacu pada Pasal 9 ayat (1) undang-undang momer 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, kata dia, disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diproses melalui peradilan militer.
Dengan demikian, menurutnya bisa dikatakan bahwa dengan statusnya yang masih prajurit TNI aktif, maka Pj kepala daerah tunduk pada sistem peradilan militer, bukan melalui mekanisme peradilan umum.
Selama ini, kata dia, sistem peradilan militer telah mengundang banyak kritik, bukan hanya karena bertentangan dengan prinsip equality before the law, tapi juga praktiknya yang sering tidak transparan dan akuntabel serta menjadi sarana impunitas bagi oknum anggota TNI yang melanggar.
Al Araf berpandangan dalam negara demokrasi, para pemimpin sipil semestinya tidak menarik-narik militer/polisi dalam kehidupan politik praktis.
"Para pemimpin sipil, sudah seharusnya menempatkan militer dan polisi tetap dalam fungsi dan peran aslinya, di mana militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan polisi menjalankan fungsi sebagai penegakkan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat serta perlindungan dan pengayoman masyarakat," kata dia.