Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah saksi yang diperiksa kasus dugaan penyelewengan donasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menguak fakta baru. Ternyata, ACT diduga memakai perusahaan baru sebagai cangkang.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan menyampaikan bahwa ada sejumlah nama perusahaan yang diduga menjadi cangkang dari ACT.
"Nanti kita ungkap bahwa ada namanya perusahaan-perusahaan yang menjadi cangkang dari perusahaan ACT," kata Whisnu Hermawan saat dikonfirmasi, Jumat (15/7/2022).
Menurut Whisnu, perusahaan-perusahaan itu seolah bergerak mandiri. Padahal, mereka semua masih terafiliasi dengan ACT.
Baca juga: Bareskrim Dalami 3 Hal Terkait Dugaan Penyelewengan Donasi ACT, Salah Satunya Dana Korban Lion Air
"Jadi seolah-olah perusahaan itu bergerak di bawah ACT tapi sama saja bahwa yang menjadi dia sendiri. Ada perusahaan A, perusahaan B, perusahaan C, ya dia-dia juga yang buat," jelas Whisnu.
Namun demikian, Whisnu tidak menjelaskan secara rinci terkait maksud perusahaan cangkang tersebut.
Hal yang pasti, pihak kepolisian mendalami dugaan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Pasti (pendalaman TPPU), karena kita mendasari dari telaah dari PPATK," pungkasnya.
Adapun total sudah ada 12 orang saksi yang diperiksa dalam kasus penyelewengan dana CSR keluarga korban Lion Air JT-610 hingga Kamis (14/7/2022).
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penyelewengan dana di lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) mulai menemukan titik terang.
Satu di antaranya ACT diduga menyelewengkan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610.
Adapun kasus ini pun telah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun begitu, belum ada pihak yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Baca juga: Selesai Diperiksa Bareskrim, Ahyudin Pamer Laporan Keuangan ACT Dapat Predikat WTP Selama 15 Tahun
Diketahui, Lion Air JT-610 merupakan penerbangan pesawat dari Jakarta menuju Pangkal Minang. Namun, pesawat tersebut jatuh di Tanjung Pakis, Karawang pada 29 Oktober 2018 lalu.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan ACT mengelola dana sosial dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
"Dimana total dana sosial atau CSR sebesar Rp 138.000.000.000," kata Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Dijelaskan Ramadhan, dugaan penyimpangan itu terjadi era kepemimpinan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat ini masih menjabat sebagai pengurus.
Mereka diduga memakai sebagian dana CSR untuk kepentingan pribadi.
"Pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana social/CSR dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," jelas Ramadhan.
Ramadhan menjelaskan bahwa kepentingan pribadi yang dimaksudkan memakai dana sosial untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina hingga staff di yayasan ACT.
"Pihak yayasan ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden Ahyudin dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden," beber Ramadhan.
Baca juga: Hari Ini Dua Petinggi ACT Kembali Diperiksa untuk Keempat Kalinya, Bakal Jadi Tersangka?
Ia menjelaskan ACT tak pernah mengikutisertakan ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial atau CSR yang disalurkan oleh Boeing.
"Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut," pungkas Ramadhan.
Dalam kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.