TRIBUNNEWS.COM - Bareskrim Polri mengumumkan adanya dugaan penyelewengan dana yayasan filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari donasi CSR Boeing Community Invesment Found (BCIF).
Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Wadirttipideksus) Bareskrim Polri, Kombes Helfi Assegaf, dana BCIF yang disalurkan sebenarnya berjumlah Rp 138 miliar.
Namun, dari jumlah total tersebut, sebanyak Rp 34 miliar tidak digunakan sesuai peruntukannya.
"Total dana yang diterima oleh ACT dari boeing kurang lebih sekitar Rp 138 Miliar, kemudian digunakan untuk program yang telah dibuat oleh ACT kurang lebih Rp 103 miliar," kata Helfi, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube Kompas TV, Selasa (26/7/2022).
"Sisanya Rp 34 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya," imbuhnya.
Helfi menjelaskan, beberapa hal yang digunakan tidak sesuai peruntukannya, seperti pengadaan armada truk senilai Rp 2 miliar.
Baca juga: Ini Rincian Dugaan Penyelewengan Dana ACT Rp 34,5 Miliar dan Peran Masing-masing 4 Tersangka
Kemudian, program big food bus senilai Rp 2,8 miliar dan pembangunan pesantren peradaban di Tasikmalaya Rp 8,7 miliar.
Selanjutnya, untuk koperasi syariah 212 mencapai Rp 10 miliar.
"Dana mengalir untuk Koperasi Syariah 212 kurang lebih Rp 10 miliar," ungkap Helfi.
ACT juga menggunakan sebesar Rp 3 miliar untuk dana talangan CV CUN.
Bahkan, Helfi menyebut, ACT mengambil dana senilai Rp 7,8 miliar sebagai dana talangan untuk PT MBGS.
"Sehingga total semuanya Rp34.573.069.200 (miliar)," ucapnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (25/7/2022).
Selain itu, kata Helfi, ACT menggunakan dana untuk menggaji para pengurus.
Namun, pihak kepolisian sedang melakukan rekapitulasi dana tersebut.
"Ini sekarang sedang dilakukan rekapitulasi dan menjadi tindak lanjut kami yang tadi disampaikan yaitu akan dilakukan audit pada ini," ungkapnya.
Helfi menyebut, pihaknya telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan tracing aset atas dana donasi.
Adapun sebagai informasi, pendiri Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar diduga menyelewengkan dana bantuan Boeing terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada tahun 2018 lalu.
Ahyudin dan Ibnu Khajar kini menjadi tersangka penyelewengan dana donasi ACT.
Keduanya, dipersangkakan pasal berlapis atas dugaan kasus penggelapan donasi umat.
Selain mereka, penyidik juga menetapkan dua petinggi ACT lainnya menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Mereka adalah anggota pembina ACT berinisial HH dan NIA.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol, Ahmad Ramadhan, menyatakan keempatnya disangkakan melanggar pasal tindak pidana penggelapan, ITE, hingga pencucian uang.
"Persangkaan pasal tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi Elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang," kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (25/7/2022).
ACT Punya 10 Perusahaan Cangkang, Diduga Menerima Aliran Donasi Umat
Diberitakan Tribunnews.com, Bareskrim Polri mengungkap Aksi Cepat Tanggap (ACT) memiliki 10 perusahaan cangkang.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Helfi Assegaf, mengatakan perusahaan-perusahaan itu masih terafiliasi dengan lembaga filantropi ACT.
"Ada 10 yang sudah ada. (Perusahaan) ada macam-macam. Ada bisnis, ada juga untuk sosial," kata Helfi kepada wartawan, Senin (25/7/2022).
Baca juga: Polisi: Petinggi ACT yang Jadi Tersangka Bergaji Rp 50 Juta Hingga Rp 450 Juta Per Bulan
Ia mengatakan, perusahaan-perusahaan itu diduga turut menerima aliran donasi umat dari ACT.
Contohnya, salah satu perusahaan pernah menerima pengadaan armada truk Rp 2 miliar.
"(Dipakai) untuk operasional kepentingan afiliasi ACT. ACT kan ada membangun beberapa perusahaan afiliasinya, pengurusnya mereka juga. Kemudian uang dimasukkan ke afiliasinya, terus kembalikan ke individunya," jelasnya.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS/Rizki Sandi Saputra/Igman Ibrahim/Ilham Rian Pratama, Kompas.com, Kompas.tv)
Simak berita lainnya terkait Kontroversi ACT