Sementara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misal menilai usulan revisi UU TNI adalah upaya pengkhianatan agenda reformasi, apalagi tujuannya mengembalikan prajurit TNI aktif ke institusi sipil seperti kementerian/lembaga.
“Pernyataan Luhut semakin memperjelas bahwa ada upaya serius untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Selama ini, telah banyak kebijakan rezim Jokowi yang menunjukkan gejala akan kembalinya rezim otoritarianisme orde baru,” ujar Ketua Umum YLBHI, M. Isnur, dalam keterangannya, Selasa (9/8/2022).
Isnur menjelaskan, gejala otoritarianisme muncul lewat upaya sistem Komando Cadangan bagi Aparat Sipil Negara (ASN) melalui Surat Edaran Menpan RB No. 27/2021 tentang Peran Serta Pegawai ASN sebagai Komponen Cadangan Dalam Mendukung Upaya Pertahanan Negara.
YLBHI juga melihat upaya TNI seperti di orde baru antara lain pengangkatan TNI aktif, yaitu Kepala BIN Sulawesi Tengah sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, serta pengangkatan Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan TNI yang mengakali peraturan perundang-undangan.
“Praktik lainnya yang dipertontonkan seperti perintah kepada prajurit untuk terjun ke sawah, menjaga aset vital nasional dan terlibat mengerjakan proyek infrastruktur. Di sisi lain, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta penyelesaian konflik Papua yang melibatkan TNI belum mendapat titik terang,” tutur Isnur.
Isnur mengatakan, usulan revisi UU TNI seiring dengan menguatnya gejala otoritarianisme rezim Jokowi sangat membahayakan demokrasi sebagai buah dari reformasi.
Tak hanya itu, pernyataan Luhut sebagai pejabat negara merupakan bentuk kesewenang-wenangan (obuse of power) dan pengingkaran konstitusi.
Isnur mengingatkan konstitusi sudah mengatur peran serta TNI, antara lain, pertama, Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur peran serta TNI.
Kedua, TAP MPR Nomor: X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang tertuang pada BAB IV tentang Kebijakan Reformasi Pembangunan pada Sektor Hukum.
Ketiga, TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 yang menyinggung pemisahan TNI-Polri dan peran TNI di bidang pertahanan.
Keempat, Pasal 10 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara.
Kelima, Pasal 5 UU 34/2004 yang menegaskan peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang pada implikasinya anggota TNI aktif terpisah dari institusi sipil negara.
Selain itu, Isnur juga menilai logika Luhut tidak masuk akal dengan penempatan personel TNI AD di kementerian lembaga.
Sebab, penyelesaian masalah efisiensi anggota justru ada pada pembenahan internal TNI.