TRIBUNNEWS.COM - Kontroversi Air Minum Dalam Kemasan kemasan (AMDK) dalam galon polikarbonat yang mengandung senyawa kimia berbahaya, Bisfenol A (BPA) masih ramai dibicarakan.
Faktanya, galon BPA yang berkode plastik buncit nomor 7, selain sulit didaur ulang, juga sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen. Sehingga, jenis galon ini sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA dan menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.
Yang mengkhawatirkan, di Indonesia tidak terdapat kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun ataupun galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun.
Meski galon BPA diklaim tahan panas, tidak terdapat pula kontrol akan sejauh mana kontaminasi yang terus menerus terjadi pada air kemasan galon BPA, baik karena kenaikan suhu temperatur, maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan.
Dengan berbagai risiko yang ada, negara-negara maju telah mengatur pelarangan penggunaan kemasan plastik BPA.
Penerapan regulasi tak terlepas dari adanya bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan, termasuk memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental pada anak.
Sebaliknya, sejauh ini masih terdapat beberapa negara berkembang yang belum menerapkan regulasi ketat terhadap penggunaan kemasan galon BPA. Beberapa negara tersebut adalah Vietnam dan Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, rancangan regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI tentang penggunaan galon BPA pada AMDK menjadi sorotan oleh sejumlah kalangan, termasuk para akademisi.
Respons yang dilontarkan oleh para akademisi pun beragam. Terdapat sebagian yang melontarkan pembelaan bahwa galon BPA ‘aman’ untuk digunakan.
Salah satunya adalah pengajar biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD. Ia bersikukuh bahwa galon BPA ‘aman’ untuk digunakan karena menurutnya, senyawa kimia BPA akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh orang yang tidak sengaja mengonsumsinya melalui urin.
Meski begitu, ia dengan gamblang mengatakan setuju jika BPOM tetap melakukan pengawasan ketat terhadap konsentrasi BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dalam kemasan galon plastik keras.
“Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya.
Lewat pernyataan tersebut, Syaefudin menyiratkan, senyawa BPA memang berpotensi menimbulkan bahaya apabila tidak diawasi oleh lembaga berotoritas seperti BPOM.
Pandangan keliru terkait penggunaan plastik PET