“Regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” tegas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito.
Lebih lanjut, ia menjelaskan regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.
"Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," sebutnya.
Baca juga: Pakar Sebut Penolakan Regulasi Galon BPA Kaburkan Problem Sampah Plastik yang Sebenarnya
Lewat pelabelan, pelaku industri pun diharapkan akan termotivasi untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat.
Rekan sekantor Penny, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang turut menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek atau yang memiliki izin edar.
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," ujar Rita.
Rita menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 50 juta lebih warga Indonesia yang sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek.
Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," katanya.