TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan alokasi anggaran pendidikan di APBN 2023 diapresiasi banyak kalangan.
Kendati demikian harus dipastikan jika anggaran pendidikan benar-benar 100 persen untuk fungsi pendidikan.
“Kami tentu sangat mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN tahun depan sebagai bentuk komitmen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Tetapi harus dipastikan jika anggaran pendidikan tersebut benar-benar untuk fungsi pendidikan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Senin (22/8/2022).
Huda menjelaskan kenaikan alokasi anggaran pendidikan hingga Rp603,8 triliun pada 2023 tentu cukup besar.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Pendidikan, 350 Guru Dilatih Kreatif Merancang Pembelajaran
Menurutnya ada kenaikan hingga Rp 28 triliun atau 5,8 persen jika dibandingkan dengan outlook alokasi anggaran pendidikan tahun ini yang sebesar Rp 574,9 triliun.
“Kenaikan ini tentu kita syukuri karena ada banyak persoalan pendidikan yang bisa mendapatkan solusi dengan komitmen kenaikan anggaran dari Presiden Jokowi ini,” katanya.
Huda mengatakan tren alokasi anggaran pendidikan terus naik setiap tahun. Kendati demikian kenaikan ini kerap tidak berbanding lurus kualitas pendidikan di tanah air.
Dari sisi kemampuan esensial peserta didik di bidang literasi, numerik, dan sains misalnya siswa Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan siswa negara lain.
“Bahkan hasil Asesmen Nasional 2021 menyebutkan jika satu dari dua peserta didik Indonesia tidak mampu memenuhi minimum kompetensi dasar literasi. Sedangkan, dua dari tiga peserta didik Indonesia tidak mampu memenuhi minimum kompetensi dasar numerasi,” ujarnya.
Selain kemampuan dasar siswa, lanjut Huda pengelolaan pendidikan nasional juga masih belum lepas dari persoalan menahun terkait guru honorer.
Saat ini program sejuta guru honorer menjadi pergawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) belum juga tuntas.
“Kendala utama penuntasan program ini adalah tarik ulur penanggung jawab beban pegawai antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah jika guru honorer menjadi PPPK. Artinya ini masalah anggaran, padahal anggaran pendidikan ini terus naik dari tahun ke tahun,” katanya.
Besarnya anggaran pendidikan, kata Huda juga tidak berkorelasi langsung dengan tingkat akses pendidikan bagi anak usia didik di Indonesia.
Riset yang dilakukan Harian Kompas menjadi indikator betapa akses untuk menempuh pendidikan tinggi di Indonesia kian sulit.