Perjalanan pemilu yg membanggakan bagi kita karena hasil dari Pemilu semakin memperkuat semangat, solidaritas di antara kita, pemahaman di antara kita, kematangan berdemokrasi di antara kita. Itu gol-gol besar kita.
Apanya harus kita hindari?
Perpecahan. Ya kan, bukan kita tidak mau pemilu, wajib itu pemilu. Tapi apalah artinya pemilu klo melancarkan kepastian perpecahan bangsa. Itu yg saya katakan untuk apa bikin pemilu, tapi bukan dalam pendekatan aspek liter leg (cek) begitu. Ini sebuah dasar pemahaman yg menggugah.
Mungkin dalam pemahaman yg amat singkat diartikan ah nih org ketua umumnya bilang untuk apa Pemilu, bukan itu. Pemilu itu aktifitas (cek) tapi untuk apa kita melaksanakan pemilu klo memastikan itu akan terjadinya perpecahan bangsa. Itu sama-sama harus kita hindarkan.
Artinya jangan kita korbankan Indonesia dari satu bangsa dan negara yg kita miliki hanya karena sebuah sirkulasi sistem yg kita adopsi ya untuk melaksanakan pemilu. Lebih mahal lagi dengan ini, bangun keberadaan eksistensi negeri dan Bangsa ini yah.
Demokrasi itu harus sebagai suatu sistem, Pemilu dilakukan karena kita menganut sistem demokrasi tadi, maka terjadi pemilu. Demokrasi itu bukan tujuan kita, dia hanya alat untuk mengantarkan tujuan-tujuan yang kita capai.
Pemahaman inilah yang harus terus-menerus kita bangun kesadaran publik ya kan. Bahkan klo masyarakat kurang memahami pada grassroot, org awam itu bisa saya pahami. Tapi klo tingkat profesor, doktor, titel dia aja gak ngerti seperti ini, ya itu saya sayangkan juga yah, sayang gitu.
Terkait dengan kampanye kadang-kadang orang membawa identitas politik menyalahkan yang lain, menyerang yang lain, apa harapan Bang Surya supaya bangsa ini tidak terpecah belah. Apakah ada ajakan untuk tokoh-tokoh parpol ya kita bikin semacam kode etik walaupun itu sudah diatur di peraturan KPU?
Berulang kembali bagi kita sebagai peserta pemilu, sebagai elite bangsa ini. Seluruh peraturan perundang-undangan, seluruh term on conduct yang kita miliki gak ada arti apa-apa.
Ketika di sana tidak diiringi oleh satu konsistensi, sikap ucapan dan perbuatan kita. Kita selalu mengatakan kita jauhkan kerusuhan, mari kita berdamai, jangan pemilu ini terpecah belah, tapi dia tidak dimaknai dengan ketulusan dan semangat.
Dan hadirnya juga budaya malu sebagai suatu asas kepantasan dan kepatutan untuk saling menjaga. Kalau ini bisa terjaga dengan komitmen yg mengikat pada diri masing- masing dengan perilaku dan otoritasnya dimiliki oleh para elite bangsa ini, saya pikir itu akan terjaga dengan sendirinya.
Tapi kalau mentalitas para elite-nya dia ngomong doang katanya. Dia bicara sana, bicara sini, praktek spirit dan semangatnya jujur dimulai oleh dirinya, itu tidak tercerminkan pada perbuatan. Apapun peraturan perundang-undangan itu gak ada gunanya.(*)