Bahkan Mahfud menyebut Lukas memiliki manajer khusus untuk pencucian uang.
"Ada kasus dana operasional pimpinan, pengelolaan PON (pekan olahraga nasional), manajer pencucian uang yang dimiliki Lukas," ujar Mahfud.
"BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selama ini tidak berhasil melakukan pemeriksaan (terhadap laporan Keuangan Papua) karena tidak bisa diperiksa. Sehingga lebih banyak disclaimer. Maka bukti hukum mencari jalannya sendiri," ujarnya.
Penjelasan Kuasa Hukum Lukas Enembe
Tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe menilai, penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya merupakan bentuk kriminalisasi.
Anggota tim kuasa hukum Lukas, Roy Rening menyebut, penetapan tersangka terhadap kliennya tersebut prematur. Sebab, Lukas tidak pernah dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
“Penetapan tersangka prematur,” kata Roy dalam keterangan resminya, Senin (19/9/2022) dikutip dari Kompas.com.
Roy mengungkapkan, KPK mulanya menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi di Pemerintah Provinsi Papua masa jabatan tahun 2013-2018 dan 2018-2023 terkait dugaan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK).
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tertanggal 27 Juli 2022.
Adapun Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.
“Ternyata KPK sepertinya mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa adanya unsur kerugian negara,” tutur Roy.
Menurut Roy, selama delapan tahun masa jabatan Lukas, Pemerintah provinsi Papua mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Roy kemudian menduga kuat KPK mengalihkan penyelidikan dari Surat Perintah Penyelidikan Nomor ; Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tanggal 27 Juli 2022 menjadi Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor : LKTPK36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 01 September 2022.
Ia menyebut dalam perubahan surat itu, dugaan korupsi Pasal 2 dan pasal 3 terkait kerugian negara bergeser menjadi Pasal 5 dan 11 atau Pasal 12 terkait suap atau gratifikasi.