News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Reformasi Polri Dinilai Harus Didasarkan Masalah Nyata, Bukan Persepsi Publik

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengajar STHI Jentera Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk Urgensi Reformasi Polri di Auditorium CSIS Jakarta Pusat pada Kamis (29/9/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti memandang reformasi Polri perlu didasarkan pada masalah nyata dan bukan pada persepsi publik terhadap Polri.

Ia khawatir apabila reformasi didasarkan pada persepsi publik maka tujuan dari reformasi tersebut hanya sebatas memperbaiki persepsi publik.

Menurutnya, perlu ada langkah-langkah pembenahan konkret setelah kasus pembunuhan berencana yang melibatkan Ferdy Sambo.

"Keinginan dan langkah reformasi kepolisian itu harus didasarkan pada masalah nyata, bukan persepsi," kata Bivitri dalam diskusi bertajuk Urgensi Reformasi Polri di Auditorium CSIS Jakarta Pusat pada Kamis (29/9/2022).

Baca juga: Brigjen Pol Chryshnanda Sebut Reformasi Birokrasi di Polri Sulit Karena Takut Dibully dan Dimusuhi

Dalam paparannya, Bivitri mengutip artikel yang dituli pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar dalam Jurnal Jentera tahun 2008 yang bertajuk "Citra Diri" VS "Jati Diri".

Dalam artikel tersebut, kata Bivitri, poinnya adalah seharusnya jati diri Polri adalah polisi sipil yang profesional, mandiri, dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Seharusnya, lanjut dia, jati diri Polri bukanlah militeristik.

"Poin dari artikel di Jurnal Jentera itu adalah memang harusnya jati diri Polri itu yang memang selama ini militeristik, menjadi polisi sipil, mandiri, profesional, dan memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Poin besarnya itu," kata Bivitri.

Menurut dia perlu ada situasi "titik nol" yang memungkinkan reformasi Polri terjadi.

Dia mencontohkan reformasi di negara Georgia yang berani memecat ribuan polisinya karena kepolisian tersebut sudah terlalu korup untuk menciptakan "titik nol" reformasi.

Meski demikian, ia menegaskan perlu ada kondisi "titik nol" yang diciptakan di Indonesia dengan konteks Indonesia.

Menurutnya, tidak serta merta apa yang telah dipraktikan di negara tersebut tepat dilakukan di Indonesia.

Ia mengatakan reformasi tersebut bisa dilakukan oleh tim independen, yang lepas dari kepolisian dan lepas dari orang-orang yang dekat sekali dengan kepolisian.

Menurutnya, seharusnya yang banyak berkutat dalam redormasi seharusnya masyarakat sipil baik dari kalangan LSM hingga akademisi.

"Karena tujuannya adalah membongkar relasi kuasa yang nyaman sekali. Tidak hanya bagi polisi. Saya tidak mau bilang hanya polisi yang salah, aktor politik juga. Itu yang harus dibongkar," kata Bivitri.

Selain itu, kata dia, harus ada analisis mengenai aktor dan lembaga terkait, evaluasi kewenangan, dan evaluasi sistem pengawasan.

"Dan untuk mengelola pengambilan keputusan politik untuk reformasi ini memang harus ada leadership yang kuat," kata Bivitri. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini