Kondisinya kala itu membuat ia tak bisa bepergian jauh, setidaknya dalam kurun waktu enam bulan.
Baca juga: NasDem Bebaskan Anies Baswedan Pilih Cawapres: Jika Dipilihkan lalu Tak Cocok, Nanti Jadi Penyakit
Padahal, sebagai marketing Paul Ropp, terlebih ada ekspansi perusahaan, mengharuskan Niluh Djelantik bepergian ke beberapa negara.
Ia yang berdomisili di New York, memutuskan pulang ke Bali setelah keluar dari Paul Ropp.
Karena terobsesi dengan sepatu tumit tinggi yang nyaman, Niluh Djelantik pun membuat brand-nya sendiri bernama NILOU di kawasan Kerobokan.
Ia memulai usahanya dengan modal sebesar Rp33 juta.
Nama merek NILOU terinspirasi dari slang lafal Niluh di lidah bule, dan dari usahanya itu menciptakan peluang bagi Niluh Djelantik bertemu Cedric Cador.
Koleksi pertama NILOU pun langsung terkenal di Prancis dan banjir pesanan hingga 4 ribu pasang.
Di tahun 2004, Niluh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris dan membuat pintu perdagangan ke Eropa makin melebar.
Untuk membedakan NILOU dengan produsen sepatu lainnya, merek ini fokus pada pembuatan sepatu bertumit tinggi antara 10 cm hingga 12 cm menggunakan bahan baku yang kebanyakan dari kulit asli, kuningan, kayu, hingga manik-manik.
Tahun 2007, Niluh Djelantik mendapat tawaran dari agen di Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap.
Kemudian NILOU diproduksi secara massal di China dengan iming-iming sejumlah besar saham, namun ditolak oleh Niluh Djelantik.
Baca juga: NasDem Respons Soal Pisah Jalan dengan PDIP Setelah Deklarasi Anies Baswedan Capres
Alasannya, Niluh Djelantik tidak ingin cintanya yang melekat pada setiap sepatu yang dihasilkan di workshop diganti oleh produksi mesin atas nama kapitalisme.
Kemudian cobaan datang karena nama NILOU yang sudah mendunia, ternyata sudah didaftarkan oleh pihak penawar dan memproduksi secara massal produk-produk NILOU di Hongkong.
Imbasnya, Niluh Djelantik membuat merek baru bernama dirinya, Niluh Djelantik, yang dipatenkan pada 2008.